Assalamu'alaikum Wr. Wb

Kepada bapak/ibu guru, silahkan kirim artikel pendidikan atau hasil penelitian yang telah di lakukan untuk dimuat di blog ini

Blogroll

RelmaxTop. Free powerful counter for your website

Pendidikan Berkarakter Dan Implementasinya Dalam Pembelajaran

1. Pendahuluan
Sesuai dengan Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional maka pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang maha esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab (Pasal 3 UU Sisdiknas).

Sedangkan budaya adalah nilai, moral, norma dan keyakinan (belief), fikiran yang dianut oleh suatu masyarakat/bangsa dan mendasari perilaku seseorang sebagai dirinya, anggota masyarakat, dan warganegara. Budaya mengatur perilaku seseorang mengenai sesuatu yang dianggap benar, baik, dan indah. Selanjutnya, karakter adalah watak yang terbentuk dari nilai, moral, dan norma yang mendasari cara pandang, berfikir, sikap, dan cara bertindak seseorang serta yang membedakan dirinya dari orang lainnya. Karakter bangsa terwujud dari karakter seseorang yang menjadi anggota masyarakat bangsa tersebut.

Pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter pada diri peserta didik sehingga menjadi dasar bagi mereka dalam berpikir, bersikap, bertindak dalam mengembangkan dirinya sebagai individu, anggota masyarakat, dan warganegara. Nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang dimiliki peserta didik tersebut menjadikan mereka sebagai warganegara Indonesia yang memiliki kekhasan dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain.

2. Apa pendidikan berarakter?
Pendidikan yang utuh yang mampu melahirkan manusia-manusia berkarakter yang siap menjadi pemimpin. Pemimpin yang dapat memimpin bangsanya, warganya, keluarganya, dan yang paling kecil lingkupnya adalah mampu memimpin dirinya sendiri.

Dalam penerapannya di madrasah atau sekolah ditujukan untuk mendidik siswa menjadi manusia seutuhnya, keprihatinan dan komitmen sekolah (guru) terhadap kemanusiaan mesti menjadi perhatian utamanya.

3. Komponen Pendidikan Berkarakter
Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung Endang Sumantri juga mengatakan paradigma pendidikan yang dibutuhkan sekarang adalah keseimbangan antara pembinaan intelek, emosi, dan semangat." Kesemuanya itu bakal berjalan baik apabila didasari oleh Pancasila untuk tetap menjaga bangsa Indonesia dalam ideologinya sendiri," ujarnya.

Menurut Endang, untuk dapat melaksanakan paradigma pendidikan, generasi muda harus mendapatkan pendidikan nilai yang di dalamnya ada agama, ideologi, budaya bangsa, pendidikan karakter, serta politik kebangsaan. Pendidikan yang berkarakter itu menekankan tiga komponen karakter yang baik, yaitu pengetahuan tentang moral, perasaan tentang moral, dan perbuatan bermoral. Dia mengingatkan, semua hal baik itu bakal sia-sia jika tidak dibarengi dengan pendidikan politik bagi generasi muda. Dengan pendidikan politik bisa diperoleh generasi yang berkepribadian utuh, berketerampilan, sekaligus memiliki kesadaran yang tinggi sebagai warga negara. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra dalam seminar pendidikan di Bandung, mengatakan, bangsa Indonesia harus merevitalisasi kebangkitan nasional. Kalau tidak, ideologi lain yang tidak cocok bisa masuk, dan bukan tidak mungkin malah menghancurkan bangsa ini.

4. Mangapa kita perlu Pendidikan berkarakter?
Dr. Adian Husaini sebuah tulisannya menyatakan bahwa banyak lulusan sekolah dan sarjana yang piawai dalam menjawab soal ujian, berotak cerdas, tetapi mentalnya lemah, penakut, dan perilakunya tidak terpuji.

Mohammad Natsir, salah satu Pahlawan Nasional, tampaknya percaya betul dengan ungkapan Dr. G.J. Nieuwenhuis: ”Suatu bangsa tidak akan maju, sebelum ada di antara bangsa itu segolongan guru yang suka berkorban untuk keperluan bangsanya.” Menurut rumus ini, dua kata kunci kemajuan bangsa adalah “guru” dan “pengorbanan”. Maka, awal kebangkitan bangsa harus dimulai dengan mencetak “guru-guru yang suka berkorban”. Guru yang dimaksud Natsir bukan sekedar “guru pengajar dalam kelas formal”. Guru adalah para pemimpin, orangtua, dan juga pendidik. Guru adalah teladan. “Guru” adalah “digugu” (didengar) dan “ditiru” (dicontoh). Guru bukan sekedar terampil mengajar bagaimana menjawab soal Ujian Nasional, tetapi diri dan hidupnya harus menjadi contoh bagi murid-muridnya.

5. Tujuan
Dalam bukunya, Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, (2010), Doni Koesoema Albertus menulis, bahwa pendidikan karakter bertujuan membentuk setiap pribadi menjadi insan yang berkeutamaan. Dalam pendidikan karakter, yang terutama dinilai adalah perilaku, bukan pemahamannya. Doni membedakan pendidikan karakter dengan pendidikan moral atau pendidikan agama. Pendidikan agama dan kesadaran akan nilai-nilai religius menjadi motivator utama keberhasilan pendidikan karakter.

Unsur-unsur
Untuk menjadi manusia yang berkarakter, mengutip Ratna Megawangi, ada tiga unsur mutlak yang mesti ada dalam pendidikan karakter. Pertama, knowing the good, maksudnya anak tidak hanya tahu tentang hal-hal yang baik, tapi mereka harus paham mengapa melakukan hal itu.

Kedua, feeling the good, maksudnya membangkitkan rasa cinta anak untuk melakukan hal yang baik. Anak dilatih untuk merasakan efek dari perbuatan baik yang dilakukan. Ketiga, acting the good, maksudnya, anak dilatih untuk berbuat mulia, berbuat sesuatu yang baik itu harus dilatih.

Ketiga hal itu harus dilatihkan secara terus-menerus dan berkelanjutan hingga menjadi kebiasaan. Setelah menjadi kebiasaan, harapannya akan menjadi karakter, yang akan menentukan nasib (hidup) anak kelak.

Pendidikan yang berkarakter (dan bermutu) akan membawa bangsa ini berisi insan-insan (manusia) yang berkarakter (dan bermutu) pula. Itulah sebabnya, mengedepankan pendidikan berkarakter menjadi urgen.

6. Bagaimana melaksanakan pendidikan berkarankter
Perlu menggunakan kurikulum berkarakter atau Kurikulum Holistik Berbasis Karakter (Character-based Integrated Curriculum), yang merupakan kurikulum terpadu yang menyentuh semua aspek kebutuhan anak. Sebuah kurikulum yang terkait, tidak terkotak-kotak dan dapat merefleksikan dimensi, keterampilan, dengan menampilkan tema-tema yang menarik dan kontekstual.

Proses pengembangan nilai-nilai yang menjadi landasan dari karakter tersebut menghendaki suatu proses yang berkelanjutan (never ending process), dilakukan melalui berbagai mata pelajaran yang ada dalam kurikulum (kewarganegaraan, sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, bahasa Indonesia, IPS, IPA, matematika, agama, pendidikan jasmani dan olahraga, seni serta ketrampilan). Dalam mengembangkan pendidikan karakter bangsa kesadaran akan siapa dirinya dan bangsanya adalah bagian yang teramat penting. Prof Dr Sartono Kartodirdjo secara tegas menyatakan bahwa kesadaran tersebut hanya dapat terbangun dengan baik melalui pendidikan sejarah karena sejarah dapat memberikan pencerahan dan penjelasan mengenai siapa dirinya dan bangsanya di masa lalu yang menghasilkan dirinya dan bangsanya di masa kini. Selain itu dalam pendidikan karakter bangsa harus terbangun pula kesadaran, pengetahuan, wawasan, dan nilai berkenaan dengan lingkungan di mana dirinya dan bangsanya hidup (geografi), nilai yang hidup di masyarakat (antropologi), sistem sosial yang berlaku dan sedang berkembang (sosiologi), sistem ketatanegaraan, pemerintahan, dan politik (ketatanegaraan/ politik/ kewarganegaraan), bahasa Indonesia dengan cara berpikirnya, kehidupan perekonomian, ilmu, teknologi, dan seni. Artinya, perlu ada upaya terobosan terhadap kurikulum berupa pengembangan nilai-nilai yang menjadi dasar bagi pendidikan budaya dan karakter bangsa. Dengan terobosan kurikulum yang demikian maka nilai dan karakter yang dikembangkan pada diri peserta didik akan sangat kokoh dan memiliki dampak nyata dalam kehidupan dirinya, masyarakat, bangsa dan bahkan ummat manusia.

Pendidikan budaya dan karakter bangsa dilakukan melalui pendidikan nilai-nilai atau kebajikan (virtue) yang menjadi dasar budaya dan karakter bangsa. Kebajikan yang menjadi atribut suatu karakter pada dasarnya adalah nilai. Oleh karena itu pendidikan budaya dan karakter bangsa pada dasarnya adalah pengembangan nilai-nilai yang berasal dari pandangan hidup/ideology bangsa Indonesia, agama, budaya, dan nilai-nilai yang terumuskan dalam tujuan pendidikan nasional.

7. Komponen
Partisipasi masyarakat. Apakah pendidik, orangtua, siswa, dan anggota masyarakat menginvestasikan diri dalam proses pembangunan konsensus untuk menemukan landasan bersama yang sangat penting bagi keberhasilan jangka panjang.

Kebijakan pendidikan karakter. Membuat pendidikan karakter bagian dari filosofi, tujuan atau pernyataan misi dengan mengadopsi kebijakan formal. Jangan sebatas tulisan dan perkataan saja.

Kesepakatan Ada pertemuan orang tua, guru dan perwakilan masyarakat dan menggunakan konsensus untuk memperoleh kesepakatan di mana karakter untuk memperkuat dan apa definisi yang digunakannya.

Kurikulum Terpadu. Membuat pendidikan karakter bagian integral dari kurikulum di semua tingkatan kelas.Mengambil sifat-sifat yang telah Anda pilih dan menghubungkan mereka ke kelas pelajaran, sehingga murid-murid melihat bagaimana suatu sifat mungkin angka ke dalam sebuah cerita atau menjadi bagian dari sebuah percobaan ilmiah atau bagaimana mungkin mempengaruhi mereka. Membuat karakter ini merupakan bagian dari setiap kelas dan setiap subjek.

Pengalaman pembelajaran. Biarkan siswa Anda untuk melihat sifat dalam tindakan, pengalaman itu dan mengungkapkannya. Sertakan berbasis masyarakat, dunia nyata pengalaman dalam kurikulum yang menggambarkan karakter (misalnya, layanan belajar, pembelajaran kooperatif dan rekan mentoring). Luangkan waktu untuk diskusi dan refleksi.

Evaluasi. Evaluasi pendidikan karakter dari dua perspektif: (1) Apakah program yang mempengaruhi perubahan positif dalam perilaku siswa, prestasi akademik dan kognitif pemahaman tentang ciri-ciri? (2) Apakah proses pelaksanaan menyediakan alat dan dukungan guru perlu?

Model peran dewasa. Anak-anak “mempelajari apa yang mereka tinggal,” jadi penting bahwa orang dewasa menunjukkan karakter positif di rumah, sekolah dan dalam masyarakat. Jika orang dewasa tidak model perilaku yang mereka ajarkan, seluruh program akan gagal.

Pengembangan staf. Menyediakan waktu pelatihan dan pengembangan untuk staf Anda sehingga mereka dapat membuat dan melaksanakan pendidikan karakter secara berkelanjutan. Termasuk waktu untuk diskusi dan pemahaman dari kedua proses dan program, serta untuk menciptakan rencana pelajaran dan kurikulum.

Keterlibatan siswa. Melibatkan siswa dalam kegiatan yang sesuai dengan usia dan memungkinkan mereka untuk terhubungkan pendidikan karakter untuk pembelajaran mereka, keputusan-keputusan dan tujuan-tujuan pribadi Anda mengintegrasikan proses ke sekolah mereka.

Mempertahankan program. Program pendidikan karakter dipertahankan dan diperbarui melalui pelaksanaan sembilan elemen pertama, dengan perhatian khusus pada tingkat komitmen yang tinggi dari atas: dana yang memadai; dukungan untuk koordinasi distrik staf yang berkualitas tinggi dan pengembangan profesional berkelanjutan dan sebuah jaringan dan dukungan sistem bagi guru yang melaksanakan program.

8. Penutup.
Pendidikan berkarakter pada hakekatnya bukan untuk membuat mata pelajaran baru, namun mengembangkan nilai-nilai yang terdapat dalam setiap mata pelajaran.Nilai nilai ini selanjutnnya ditanamkan pada anak didik kita sehingga menjadi seorang warga Negara yang berkepribadian dan berkarakter kuat.

Lanjutkan ... → Pendidikan Berkarakter Dan Implementasinya Dalam Pembelajaran

Kurikulum Pendidikan Karakter

Apa Itu Karakter?
Dennis Coon dalam bukunya Introduction to Psychology : Exploration and Aplication mendefinisikan karakter sebagai suatu penilaian subyektif terhadap kepribadian seseorang yang berkaitan dengan atribut kepribadian yang dapat atau tidak dapat diterima oleh masyarakat. Karakter adalah jawaban mutlak untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik didalam masyarakat.


Dennis Coon dalam bukunya Introduction to Psychology : Exploration and Aplication mendefinisikan karakter sebagai suatu penilaian subyektif terhadap kepribadian seseorang yang berkaitan dengan atribut kepribadian yang dapat atau tidak dapat diterima oleh masyarakat. Karakter adalah jawaban mutlak untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik didalam masyarakat.

Beda Karakter dan Kepribadian (Sifat Dasar)

Kepribadian adalah hadiah dari Tuhan Sang Pencipta saat manusia dilahirkan dan setiap orang yang memiliki kepribadian pasti ada kelemahannya dan kelebihannya di aspek kehidupan sosial dan masing-masing pribadi. Kepribadian manusia secara umum ada 4, yaitu : Koleris – Sanguinis – Phlegmatis – Melankolis.

Nah, Karakternya dimana? Saat setiap manusia belajar untuk mengatasi dan memperbaiki kelemahannya, serta memunculkan kebiasaan positif yang baru, inilah yang disebut dengan Karakter. Misalnya, seorang dengan kepribadian Sanguin yang sangat suka bercanda dan terkesan tidak serius, lalu sadar dan belajar sehingga mampu membawa dirinya untuk bersikap serius dalam situasi yang membutuhkan ketenangan dan perhatian fokus, itulah Karakter.

Mengapa Seorang Anak Butuh Pendidikan Karakter?

Pada dasarnya, pada perkembangan seorang anak adalah mengembangkan pemahaman yang benar tentang bagaimana dunia ini bekerja, mempelajari ”aturan main” segala aspek yang ada di dunia ini . Anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter apabila dapat tumbuh pada lingkungan yang berkarakter

Ada 3 Cara Mendidik Karakter Anak:

1. Ubah Lingkungannya, melakukan pendidikan karakter dengan cara menata peraturan serta konsekuensi di sekolah dan dirumah.

2. Berikan Pengetahuan, memberikan pengetahuan bagaimana melakukan perilaku yang diharapakan untuk muncul dalam kesehariannya serta diaplikasikan.

3. Kondisikan Emosinya, emosi manusia adalah kendali 88% dalam kehidupan manusia. Jika mampu menyentuh emosinya dan memberikan informasi yang tepat maka informasi tersebut akan menetap dalam hidupnya.

Karakter apa yang perlu ditumbuhkan dan dibentuk dalam diri anak?

1. Karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya

2. Kemandirian dan Tanggung Jawab

3. Kejujuran atau Amanah, Diplomatis

4. Hormat dan Santun

5. Dermawan, Suka Tolong Menolong & Gotong Royong

6. Percaya Diri dan Pekerja Cerdas

7. Kepemimpinan dan Keadilan

8. Baik dan Rendah Hati

9. Karakter Toleransi, Kedamaian dan Kesatuan.

Saat ini kami memiliki 3 program pendidikan karakter yang menjadi fokus dari kurikulum kami, yaitu :
1. Training Guru

Terkait dengan program pendidikan karakter disekolah, bagaimana menjalankan dan melaksanakan pendidikan karakter disekolah, serta bagaimana cara menyusun program dan melaksanakannya, dari gagasan ke tindakan.

Program ini membekali dan memberikan wawasan pada guru tentang psikologi anak, cara mendidik anak dengan memahami mekanisme pikiran anak dan 3 faktor kunci untuk menciptakan anak sukses, serta kiat praktis dalam memahami dan mengatasi anak yang “bermasalah” dengan perilakunya.

2. Program Kurikulum Pendidikan Karakter

Kami memberikan sistem pengajaran dan materi yang lengkap (untuk 1 tahun ajaran) serta detail dan aplikasi untuk sekolah dan materi untuk orang tua murid. Materi ini telah diuji coba lebih dari 5 tahun, disamping itu dalam program ini ada pendampingan dan training khusus untuk guru.

Training khusus guru ini dikhususkan untuk menciptakan suksesnya pendidikan karakter disekolah, disamping pemberian materi yang “advance” dari program training guru pertama. Karena disini para guru akan mempelajari aspek psikologi manusia (bukan hanya anak, tetapi untuk dirinya sendiri) dan menanamkan nilai-nilai kehidupan yang baik pada dirinya, murid dan keluarga. Guru akan memiliki “tools” untuk membantu menciptakan anak yang berkarakter lebih baik.

3. Program Bimbingan Mental

Program ini terbagi menjadi dua sesi program :

Sesi Workshop Therapy, yang dirancang khusus untuk siswa usia 12 -18 tahun. Workshop ini bertujuan mengubah serta membimbing mental anak usia remaja. Workshop ini bekerja sebagai “mesin perubahan instant” maksudnya setelah mengikuti program ini anak didik akan berubah seketika menjadi anak yang lebih positif.

Sesi Seminar Khusus Orangtua Siswa, membantu orangtua mengenali anaknya dan memperlakukan anak dengan lebih baik, agar anak lebih sukses dalam kehidupannya. Dalam seminar ini orangtua akan mempelajari pengetahuan dasar yang sangat bagus untuk mempelajari berbagai teori psikologi anak dan keluarga. Memahami konsep menangani anak di rumah dan di sekolah, serta lebih mudah mengerti dan memahami jalan pikiran anak, pasangan dan orang lain.
Sumber: http://www.pendidikankarakter.com/kurikulum-pendidikan-karakter/

Lanjutkan ... → Kurikulum Pendidikan Karakter

Motivasi Belajar Siswa

Motivasi Belajar - Motivasi berasal dari kata “motif” yang diartikan sebagai “ daya penggerak yang telah menjadi aktif” (Sardiman,2001: 71). Pendapat lain juga mengatakan bahwa motivasi adalah “ keadaan dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk melakukan kegiatan untuk mencapai tujuan” (Soeharto dkk, 2003 : 110)

Dalam buku psikologi pendidikan Drs. M. Dalyono memaparkan bahwa “motivasi adalah daya penggerak/pendorong untuk melakukan sesuatu pekerjaan, yang bisa berasal dari dalam diri dan juga dari luar” (Dalyono, 2005: 55).

Dalam bukunya Ngalim Purwanto, Sartain mengatakan bahwa motivasi adalah suatu pernyataan yang kompleks di dalam suatu organisme yang mengarahkan tingkah laku terhadap suatu tujuan (goal) atau perangsang (incentive). Tujuan adalah yang membatasi/menentukan tingkah laku organisme itu (Ngalim Purwanto, 2007 : 61).

Dengan demikian motivasi dalam proses pembelajaran sangat dibutuhkan untuk terjadinya percepatan dalam mencapai tujuan pendidikan dan pembelajaran secara khusus.

Belajar dalam arti luas dapat diartikan sebagai suatu proses yang memungkinkan timbulnya atau berubahnya suatu tingkah laku sebagai hasil dari terbentuknya respon utama, dengan sarat bahwa perubahan atau munculnya tingkah laku baru itu bukan disebabkan oleh adanya kematangan atau oleh adanya perubahan sementara oleh suatu hal (Nasution, dkk: 1992: 3).

Belajar adalah suatu proses yamg ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang. Perubahan dalam diri seseorang dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk seperti berubahnya pengetahuannya, pemahamannya, sikap dan tingkah lakunya, keterampilan dan kemampuannya, daya reaksinya, daya penerimaannya dan lain-lain aspek yang ada pada individu (Sudjana,2002 :280).

Djamarah mengemukakan bahwa belajar adalah “suatu aktifitas yang dilakukan secara sadar untuk mendapatkan sejumlah kesan dari bahan yang telah dipelajari” (Djamarah,1991:19-21).

Sedangkan menurut Slameto belajar adalah ”merupakan suatu proses usaha yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya” (Slameto, 2003 : 2).

Belajar merupakan usaha yang dilakukan secara sadar untuk mendapat dari bahan yang dipelajari dan adanya perubahan dalam diri seseorang baik itu pengetahuan, keterampilan, maupun sikap dan tingkah lakunya.
Motivasi belajar merupakan sesuatu keadaan yang terdapat pada diri seseorang individu dimana ada suatu dorongan untuk melakukan sesuatu guna mencapai tujuan.

2.. Jenis-jenis Motivasi Belajar
Berbicara tentang jenis dan macam motivasi dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Sardiman mengatakan bahwa motivasi itu sangat bervariasi yaitu:

1. Motivasi dilihat dari dasar pembentukannya
Motif-motif bawaan adalah motif yang dibawa sejak lahir
Motif-motif yang dipelajari artinya motif yang timbul karena dipelajari.

2. Motivasi menurut pembagiaan dari woodworth dan marquis dalam sardiman:
Motif atau kebutuhan organismisalnya, kebutuhan minum, makan, bernafas, seksual, dan lain-lain.
Motof-motif darurat misalnya, menyelamatkan diri, dorongan untuk membalas, dan sebagainya.
Motif-motif objektif

3. Motivasi jasmani dan rohani
Motivasi jasmani, seperti, rileks, insting otomatis, napas dan sebagainya.
Motivasi rohani, seperti kemauan atau minat.

4. Motivasi intrisik dan ekstrinsik
Motivasi instrisik adalah motif-motif yang terjadi aktif atau berfungsi tidak perlu diransang dari luar, karena dalam diri setiap individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu.
Motivasi ekstrinsik adalah motif-motif yang aktif dan berfungsi karena adanya peransang dari luar. (Sardiman, 1996: 90).

Pendapat lain mengemukakan bahwa dua jenis motivasi yaitu sebagai berikut:
“Motivasi primer, adalah motivasi yang didasarkan atas motif-motif dasar. Motivasi skunder, adalah yang dipelajari” (Dimyanti dan Mudjiono, 1999:88).

Adanya berbagai jenis motivasi di atas, memberikan suatu gambaran tentang motif-motif yang ada pada setiap individu. Adapun motivasi yang berkaitan dengan mata pelajaran bahasa arab adalah motivasi ekstrinsik, dimana motivasi ini membutuhkan ransangan atau dorongan dari luar misalnya, media, baik media visual, audio, maupun audio visual serta buku-buku yang dapat menimbulkan dan memberikan inspirasi dan ransangan dalam belajar.

Adapun bentuk motivasi yang sering dilakukan disekolah adalah memberi angka, hadiah, pujian, gerakan tubuh, memberi tugas, memberi ulangan, mengetahui hasil, dan hukuman. (Djmarah dan zain, 2002 : 168). Dari kutipan di atas, maka penulis dapat menjelaskan hal tersebut sebagai berikut:

a) Memberi angka
Memberikan angka (nilai) artinya adalah sebagai satu simbol dari hasil aktifitas anak didik. Dalam memberi angka (nilai) ini, semua anak didik mendapatkan hasil aktifitas yang bervariasi. Pemberian angka kepada anak didik diharapkan dapat memberikan dorongan atau motivasi agar hasilnya dapat lebih ditingkatkan lagi.

b) Hadiah
Maksudnya adalah suatu pemberian berupa kenang-kenangan kepada anak didik yang berprestasi. Hadiah ini akan dapat menambah atau meningkatkan semangat (motivasi) belajar siswa karena akan diangap sebagai suatu penghargaan yang sangat berharga bagi siswa.

c) Pujian
Memberikan pujian terhadap hasil kerja anak didik adalah sesuatu yang diharapkan oleh setiap individu. Adanya pujian berarti adanya suatu perhatian yang diberikan kepada siswa, sehingga semangat bersaing siswa untuk belajar akan tinggi.

d) Gerakan tubuh
Gerakan tubuh artinya mimik, parah, wajah, gerakan tangan, gerakan kepala, yang membuat suatu perhatian terhadap pelajaran yang disampaikan oleh guru. Gerakan tubuh saat memberikan suatu respon dari siswa artinya siswa didalam menyimak suatu materi pelajaran lebih mudah dan gampang.

e) Memberi tugas
Tugas merupakan suatu pekerjaan yang menuntut untuk segera diselesaikan. Pemberian tugas kepada siswa akan memberikan suatu dorongan dan motivasi kepada anak didik untuk memperhatikan segala isi pelajaran yang disampaikan.

f) Memberikan ulangan
Ulangan adalah strategi yang paling penting untuk menguji hasil pengajaran dan juga memberikan motivasi belajar kepada siswa untuk mengulangi pelajaran yang telah disampaikan dan diberikan oleh guru.

g) Mengetahui hasil
Rasa ingin tahu siswa kepada sesuatu yang belum diketahui adalah suatu sifat yang ada pada setiap manusia. Dalam hal ini siswa berhak mengetahui hasil pekerjaan yang dilakukannya.

h) Hukuman
Dalam proses belajar mengajar, memberikan sanksi kepada siswa yang melakukan kesalahan adalah hal yang harus dilakukan untuk menarik dan meningkatkan perhatian siswa. Misalnya memberikan pertanyaan kepada siswa yang bersangkutan.


3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motivasi Belajar
Dalam aktifitas belajar, seorang individu membutuhkan suatu dorongan atau motivasi sehingga sesuatu yang diinginkan dapat tercapai, dalam hal ini ada beberapa faktor yang mempengaruhi belajar antara lain:

1. Faktor individual
Seperti; kematangan atau pertumbuhan, kecerdasan, latihan, motivasi, dan faktor pribadi.

2. Faktor sosial
Seperti; keluaga atau keadaan rumah tangga, guru dan cara mengajarnya, alat-alat dalam belajar, dan motivasi sosial ( Purwanto, 2002 : 102)


Dalam pendapat lain, faktor lain yang dapat mempengaruhi belajar yakni:
a) Faktor-faktor intern

1. Faktor jasmaniah
Faktor kesehatan
Faktor cacat tubuh

2. Faktor fhsikologis
Intelegensi
Minat dan motivasi
Perhatian dan bakat
Kematangan dan kesiapan

3. Faktor kelelahan
Kelelahan jasmani
Kelelahan rohani


b) Faktor ekstern
1. Faktor keluarga
Cara orang tua mendidik
Relasi antara anggota keluarga
Suasana rumah
Keadaan gedung dan metode belajar

2. Faktor sekolah
Metode mengajar dan kurikulum
Relasi guru dan siswa
Disiplin sekolah
Alat pengajaran dan waktu sekolah
Keadaan gedung dan metode belajar
Standar pelajaran di atas ukuran dan tugas rumah

3. Faktor masyaraka
Kegiatan siswa dalam masyarakat
Mass media dan teman bergaul
Bentuk kehidupan masyarakat (Slameto, 1997 :71)

Adanya berbagai faktor yang mempengaruhi belajar siswa di atas, peneliti dapat memahami bahwa adanya faktor tersebut dapat memberikan suatu kejelasan tentang proses belajar yang dipahami oleh siswa. Dengan demikian seorang guru harus benar-benar memahami dan memperhatikan adanya faktor tersebut pada siswa, sehingga didalam memberikan dan melaksanakan proses belajar mengajar harus memperhatikan faktor tersebut, baik dari psikologis, lingkungan dengan kata lain faktor intern dan ekstren.

Terkait dengan hal yang tersebut di atas, maka Dimyanti dan Mudjiono mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi belajar antara lain:

1. Cita-cita / aspirasi siswa
2. Kemampuan siswa
3. Kondisi siswa dan lingkungan
4. Unsur-unsur dinamis dalam belajar
5. Upaya guru dalam membelajarkan siswa. (Dimyati dan Mudjiono, 1999 : 100)

Adapun penjelasan faktor tersebut adalah:

1. Cita-cita / aspirasi
Cita-cita merupakan satu kata tertanam dalam jiwa seorang individu. Cita-cita merupakan angan-angan yang ada di imajinasi seorang individu, dimana cita-cita tersebut dapat dicapai akan memberikan suatu kemungkinan tersendiri pada individu tersebut. Adanya cita-cita juga diiringi oleh perkembangan dan pertumbuhan keperibadian individu yang akan menimbulkan motivasi yang besar untuk meraih cita-cita atau kegiatan yang diinginkan.

2. Kemampuan siswa
Kemampuan dan kecakapan setiap individu akan memperkuat adanya motivasi. kemampuan yang dimaksud adalah kemampuan membaca, memahami sehingga dorongan yang ada pada diri individu akan makin tinggi.

3. Kondisi siswa dan lingkungan
Kondisis siwa adalah kondisi rohani dan jasmani. Apabila kondisi stabil dan sehat maka motivasi siswa akan bertambah dan prestasinya akan meningkat. Begitu juga dengan kondisi lingkungan siswa (keluarga dan masyarakat) mendukung, maka motivasi pasti ada dan tidak akan menghilang.

4. Unsur dinamis dan pengajaran
Dinamis artinya seorang individu dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar, tempat dimana seorang individu akan memperoleh pengalaman.

5. Upaya guru dalam pengajaran siswa
Guru adalah seorang sosok yang dikagumi dan insan yangt mempunyai peranan penting dalam dunia pendidikan. Seorang guru dituntut untuk profesional dan memiliki keterampilan.
Dalam suatu kegiatan atau pekerjaan yang dilakukan tidak terlepas adanya fungsi dan kegunaan. Motivasi dalam belajar yang merupakan suatu dorongan memiliki fungsi, yang dikemukakan oleh seorang ahli yaitu:

Mendorong manusia untuk berbuat atau bertindak. Motif untuk berfungsi sebagai penggerak atau sebagai motor penggerak melepaskan energi.
Menentukan arah perbuatan yaitu petunjuk suatu tujuan yang hendak dicapai
Menyelesaikan perbuatan yakni menentukan perbuatan-perbuatan apa yang akan dikerjakan ynag serasi guna mencapai tujuan dengan menyisihkan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut. (Purwanto, 2002 : 70).

Disamping itu ada juga fungsi lain dari motivasi yaitu “motivasi adalah sebagai pendorong usaha dan pencapaian prestasi” (Sardiman, 2001 : 83). Jelaslah bahwa fungsi motivasi itu memberikan suatu nilai atau itensitas tersendiri dari seorang siswa dalam meningkatkan motivasi belajar dan prestasi belajarnya.


Daftar Pustaka

A.M. Sardiman, 2005, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Purwanto Ngalim, 2002, Administrasi Dan Supervisi Pendidikan, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Nasution S., 2004, Didaktik Asas-asas Mengajar, Jakarta: Bumi Aksara.

Sumber: http://aadesanjaya.blogspot.com
Lanjutkan ... → Motivasi Belajar Siswa

Pendekatan CTL Pada Pembelajaran Biologi

“Learning always involves the interaction between the learner’s present understanding of the world and the knowledge input” (West and Pines, 1985 dalam Bell, 1993).
Proses pembelajaran dirancang untuk memberikan kesempatan sebanyak-banyaknya kepada siswa untuk melakukan kegiatan belajar. Kegiatan belajar merupakan kegiatan aktif yang ditunjukkan siswa, baik berkaitan dengan aspek kognitif, keterampilan, maupun pematangan sikap dan kepribadian seperti rasa tanggung jawab, jujur, menghargai pendapat/karya orang lain.

Beberapa pendekatan dalam mengembangkan proses pembelajaran Biologi telah banyak diterapkan seiring dengan diberlakukannya berbagai kebijakan yang berkaitan dengan kurikulum. Pendekatan CBSA, Keterampilan Proses, Inkuari, Konstruktivisme, STS (Science Technology and Society), SETS (Science, Environment, Technology and Society), JAS (Jelajah Alam Sekitar) merupakan contoh pendekatan yang dapat diimplementasikan dalam pembelajaran Biologi. Melalui pendekatan-pendekatan tersebut juga telah dijabarkan ke dalam berbagai bentuk model dan strategi pembelajaran Biologi, yang penerapannya diharapkan mampu meningkatkan efisiensi dan kualitas belajar siswa.

Dalam perjalanannya, penerapan pendekatan-pendekatan dalam membelajarkan siswa tersebut mengalami kendala yang bersifat sistemik. Keterbatasan waktu, target ketuntasan pengeasaan materi pelajaran, serta sistem pengukuran dan pengujian hasil belajar siswa merupakan variabel-variabel utama yang menyebabkan belum terlaksananya pendekatan-pendekatan tersebut secara optimal.

Diberlakukannya kurikulum 2006 (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan/KTSP), mengundang respon berbagai kalangan permerhati dan pelaksana pendidikan untuk memikirkan dan selanjutnya menyusun berbagai perangkat pendukung pembelajaran dalam rangka memenuhi harapan-harapan yang tertuang dalam Kurikulum 2006. Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan salah satu perangkat alternatif untuk mewujudkan pembelajaran yang efisien dan efektif sesuai dengan kurikulum 2006.

*) Makalah Seminar dalam rangka Pembinaan Teknis Guru SMP se Jawa Tengah, di Semarang.
**) Dosen Pendidikan Biologi FMIPA UNNES.
Apa dan Bagaimana CTL?
Pendekatan CTL merupakan pendekatan dalam proses pembelajaran yang membantu guru menghubungkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa sehingga mendorong siswa untuk mampu membuat hubungan antara pengetahuan yang diperoleh dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Melalui CTL, siswa dilibatkan dalam kegiatan pembelajaran yang bermakna yang membantu mereka menghubungkan kajian-kajian akademik dengan situasi kehidupan nyata mereka.

Pendekatan CTL dikembangkan dengan memperhatikan lima hal, antara lain:
1. Relating, yaitu kegiatan pembelajaran dengan menghubungkan konten/materi pelajaran dengan konteks sehari-hari yang mudah dikenali siswa.
2. Experiencing, yaitu pembelajaran yang dikembangkan agar siswa mampu mempelajari sesuatu dengan melakukan dan menemukan sendiri dengan daya kreasi dan imajinasinya.
3. Applying, yaitu pembelajaran yang memungkinkan siswa mampu menerapkan pengetahuan yang diperolehnya untuk memecahkan suatu permasalahan.
4. Cooperating, yaitu pembelajaran yang memungkinkan siswa bekerja sama dengan yang lain dalam melakukan kegiatan bermakna, menghargai dan mampu menanggapi dengan baik pendapat teman.
5. Transfering, yaitu pembelajaran yang mampu memberikan kesempatan kepada siswa untuk menerapkan pengetahuan yang telah dimiliki dalam situasi lain.

Penerapan pendekatan CTL yang baik harus dikemas dengan cara mengintegrasikan antara kegiatan yang bermakna dalam pembelajaran dan permasalahan yang tersirat dalam pelajaran, akan membiasakan siswa melakukan learning how to learn (belajar bagaimana seharusnya mempelajari sesuatu).

Dasar pengembangan pendekatan pembelajaran ini adalah sebagai berikut.
a. Hal-hal yang berkaitan dengan proses belajar
• Siswa belajar dari mengalami, tidak hanya sekedar membaca dan menghafal
• Pengetahuan yang dimiliki seseorang merupakan sesuatu yang terorganisasi.
• Proses belajar dapat merubah struktur kognisi siswaa di otak
• Pengetahuan merupakan keterampilan yang dapat diterapkan
• Siswa terbiasa menemukan, menghadapi dan memecahkan masalah


b. Hal-hal yang berkaitan dengan transfer belajar
• Hasil belajar siswa tidak diperoleh dari pemberian orang lain (guru), tetapi dari hasil pengamatan dan penemuan.
• Keterampilan dan pengetahuan dapat ditingkatkan, sedikit demi sedikit
• Penting dipahami oleh siswa “untuk apa” ia belajar, dan “bagaimana” ia menggunakan pengetahuan dan keterampilannya.

c. Siswa adalah manusia yang mampu belajar
• Manusia mempunyai kecenderungan untuk belajar dan menekuni bidang tertentu
• Untuk mempelajari hal-hal tertentu dibutuhkan strategi belajar
• Peran guru adalah membantu menghubungkan apa yang telah diketahui siswa dengan pengetahuan yang akan dipelajari (sebagai fasilitator yang menyediakan perlengkapan siswa untuk dapat belajar).
• Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan sendiri (bukan mengisi dan memenuhi ‘botol kosong’ dengan air pengetahuan)

d. Pentingnya lingkungan belajar
• Pembelajaran akan lebih bermakna jika berpusat pada siswa.
• Siswa bekerja dan berkarya, guru membimbing dan mengarahkan
• Guru mengarahkan “bagaimana memperoleh pengetahuan” dan “bagaimana menerapkan pengetahuannya”
• Bekerja dalam kelompok kecil lebih efektif
• Assessment (pengukuran hasil belajar) yang benar akan membantu siswa.

Selanjutnya, bagaimana pelaksanaan CTL dalam pembelajaran Biologi?

Terdapat tujuh komponen yang harus diperhatikan jika kita akan menerapkan pendekatan CTL dalam pembelajaran Biologi. Komponen-komponen tersebut adalah sebagai berikut.

1. Konstruktivisme
Strategi yang penting diperhatikan adalah “bagaimana siswa memperoleh pengetahuan”. Guru memberikan kesempatan dan mengarahkan siswa untuk menemukan pengetahuan melalui kegiatan yang nyata dan telah direncanakan (by design).

2. Inquiry (menemukan)
Dengan mempersiapkan kegiatan yang bermakna, siswa diajak untuk melakukan penyelidikan dan penemuan. Keterampilan yang harus dicermati selama kegiatan ini berlangsung adalah merumuskan masalah, observasi, bertanya, mengajukan dugaan, mengumpulkan data, dan menyimpulkan.

3. Questioning (bertanya)
Bagi guru kegiatan bertanya dapat dimanfaatkan untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan siswa. Sebaliknya bagi siswa, bertanya merupakan kegiatan untuk menggali informasi dan mengkonfirmasikan apa yang telah dipahami. Kegiatan bertanya ini dapat dilakukan oleh guru kepada siswa, siswa kepada guru, ataupun siswa kepada siswa lainnya (dalam kelompok).

4. Learning community/ sharing ideas (berbagi pengetahuan)
Setiap pihak harus sadar bahwa setiap orang memiliki pengetahuan dan pengalaman. Jika setiap orang mau belajar dari orang lain, maka setiap orang dapat menjadi sumber belajar. Pembentukan kelompok kemudian berdiskusi, mendatangkan “ahli/narasumber” ke kelas, merupakan langkah yang dapat ditempuh dalam meningkatkan kualitas pembelajaran.

5. Modeling (pemodelan)
Model yang diintegrasikan dengan tepat dalam pembelajaran akan membantu visualisasi siswa dalam memahami konsep yang dimodelkan. Model dapat berupa guru (mendemonstrasikan sesuatu), siswa (berperan sebagai sesuatu), atau dapat juga unsur dari ahli yang kompeten yang didatangkan sesekali waktu.

6. Reflection (refleksi)
Refleksi merupakan cara berpikir tentang apa yang telah dipelajari. Pada akhir pelajaran guru memberi kesempatan siswa untuk melakukan refleksi, pengendapan, mencatat apa yang telah dipelajari dan lebih memahami ide-ide baru tersebut. Pengendapan dapat berupa pertanyaan guru, kesan siswa terhadap pembelajaran, diskusi, atau menghasilkan sebuah karya.

7. Authentic assessment (pengukuran hasil belajar yang sesungguhnya)
Assessment merupakan proses pengumpulan berbagai data untuk memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Data ini dapat berupa tes tertulis, proyek (laporan kegiatan), karya siswa, performance (penampilan presentasi) yang terangkum dalam portofolio siswa.
Sumber: Drs. Sigit Saptono, M.Pd.
Lanjutkan ... → Pendekatan CTL Pada Pembelajaran Biologi

Urgensi Pendidikan Karakter

Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Nasional sudah mencanangkan penerapan pendidikan karakter untuk semua tingkat pendidikan dari SD hingga Perguruan Tinggi. Munculnya gagasan program pendidikan karakter dalam dunia pendidikan di Indonesia dapat dimaklumi, sebab selama ini dirasakan proses pendidikan ternyata belum berhasil membangun manusia Indonesia yang berkarakter. Banyak yang menyebut bahwa pendidikan telah gagal membangun karakter. Banyak lulusan sekolah dan sarjana yang pandai dalam menjawab soal ujian, berotak cerdas, tetapi mentalnya lemah, penakut, dan perilakunya tidak terpuji.

Pembangunan karakter perlu dilakukan oleh manusia. Senada dengan hal tersebut, Ellen G. White dalam Sarumpaet (2001: 12) mengemukakan bahwa pembangunan karakter adalah usaha paling penting yang pernah diberikan kepada manusia. Pembangunan karakter adalah tujuan luar biasa dari sistem pendidikan yang benar. Pendidikan rumah tangga maupun pendidikan dalam sekolah, orang tua dan guru tetap sadar bahwa pembangunan tabiat yang agung adalah tugas mereka. Menurut Mochtar Buchori (2007) (dalam www.tempointeraktif .com/hg/kolom/…/kol,20110201-315,id.html) pendidikan karakter seharusnya membawa peserta didik ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata. Permasalahan pendidikan karakter yang selama ini ada di sekolah perlu segera dikaji dan dicari altenatif-alternatif solusinya serta perlu dikembangkannya secara lebih operasional sehingga mudah diimplementasikan.

Banyak hasil penelitian yang membuktikan bahwa karakter seseorang dapat mempengaruhi kesuksesan seseorang. Di antaranya berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat (http://akhmadsudrajat.Wordpress .com/…/pendidikan-karakter-di-smp/), ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan bahwa kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan.

Sementara itu Ratna Megawangi (2007) dalam bukunya “Semua Berakar Pada Karakter” mencontohkan bagaimana kesuksesan Cina dalam menerapkan pendidikan karakter sejak awal tahun 1980-an. Menurutnya pendidikan karakter adalah untuk mengukir akhlak melalui proses knowing the good, loving the good, and acting the good (suatu proses pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, emosi, dan fisik, sehingga berakhlak mulia).

Character Educator yang diterbitkan oleh Character Education Partnership (http://pondokibu.com/parenting/pendidikan-psikologi-anak/dampak-pendidikan-karakter-terhadap-akademi-anak/) menguraikan bahwa hasil studi Dr. Marvin Berkowitz dari University of Missouri- St. Louis, menunjukan peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih prestasi akademik pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter.

Kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukan penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat menghambat keberhasilan akademik. Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Sejalan dengan hal di atas, menurut Thomas Lickona tanpa ketiga aspek ini pendidikan karakter tidak akan efektif dan pelaksanaannya pun harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Dengan pendidikan karakter, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya.

Kecerdasan emosi adalah bekal terpenting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena dengannya seseorang akan dapat berhasil dalam menghadapi segala macam tantangan termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis. Sebuah buku berjudul Emotional Intelligence and School Success karangan Joseph Zins (2001) (dalam http://pondokibu.com/parenting /pendidikan-psikologi-anak/dampak-pendidikan-karakter-terhadap-akademianak/) mengkompilasikan berbagai hasil penelitian tentang pengaruh positif kecerdasan emosi anak terhadap keberhasilan di sekolah. Dalam buku itu dikatakan bahwa ada sederet faktor-faktor resiko penyebab kegagalan anak di sekolah.

Faktor-faktor resiko yang disebutkan ternyata bukan terletak pada kecerdasan otak tetapi pada karakter, yaitu rasa percaya diri, kemampuan bekerja sama, kemampuan bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa empati, dan kemampuan berkomunikasi.

Berkaitan dengan hal di atas, Daniel Goleman (yang dikutip dalam http://pondokibu.com/parenting/pendidikan-psikologi-anak/dampak-pendidikan-karakter-terhadap-akademi-anak/) menerangkan bahwa keberhasilan seseorang di masyarakat, ternyata 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosi dan hanya 20 persen ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ). Anak-anak yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya akan mengalami kesulitan belajar, bergaul dan tidak dapat mengontrol emosinya. Anak-anak yang bermasalah ini sudah dapat dilihat sejak usia prasekolah dan kalau tidak ditangani akan terbawa sampai usia dewasa. Sebaliknya para remaja yang berkarakter atau mempunyai kecerdasan emosi tinggi akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas, dan sebagainya. Selain itu Daniel Goleman juga mengatakan bahwa banyak orang tua yang gagal dalam mendidik karakter anak-anaknya. Entah karena kesibukan atau karena lebih mementingkan aspek kognitif anak. Pendidikan karakter di sekolah sangat diperlukan, walaupun dasar dari pendidikan karakter adalah di dalam keluarga. Apabila seorang anak mendapatkan pendidikan karakter yang baik dari keluarganya, anak tersebut akan berkarakter baik selanjutnya. Banyak orang tua yang lebih mementingkan aspek kecerdasan otak ketimbang pendidikan karakter. Berdasarkan hal tersebut terbukti bahwa pentingnya pendidikan karakter, baik di rumah ataupun di pendidikan formal.

Lanjutkan ... → Urgensi Pendidikan Karakter

Pembelajaran Partisipatif

Kegiatan belajar partisipatif adalah keikutsertaan peserta didik (siswa) dalam kegiatan belajar sejak dari kegiatan merencanakan, melaksanakan dan menilai kegiatan belajar membelajarkan. Sedangkan kegiatan membelajarkan partisipatif adalah upaya pendidik (sumber belajar) untuk memotivasi dan melibatkan siswa dalam kegiatan merencanakan, melaksanakan dan menilai kegiatan belajar yang dilakukan bersama di dalam kelompok oleh siswa, dengan bantuan dari sumber belajar.

Pendapat yang senada juga mengemukakan bahwa strategi pembelajaran partisipatif adalah suatu proses pemberdayaan peserta dididk melalui berbagai kegiatan pembelajaran mulai dari kegiatan identifikasi masalah, perencanaan, hingga pada pelaksanaan, monitoring dan evaluasi kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan serta tindak lanjut dari hasil pembelajaran..

Berdasarkan pada kedua pandangan di atas, dapat dikatakam bahwa strategi pembelajaran partisipatif pada umumnya menuntut peserta didik untuk ikut serta secara aktif dalam kegiatan belajar membelajarkan dengan berpikir dan berbuat secara kreatif, bebas, terbuka dan bertanggung jawab untuk mempelajari hal-hal yang bermakna dalam memenuhi kebutuhan belajar dan kepentingan bersama.

Berdasarkan deskripsi uraian beberapa pandangan di atas, dapat dikemukakan beberapa aspek yang menjadi fokus perhatian dalam menggunakan strategi pembelajaran partisipatif, yaitu:

1. Faktor utama dalam strategi pembelajaran partisipatif adalah: faktor manusia, faktor tujuan, faktor bahan ajar, fasilitas waktu dan fasilitas sarana belajar.

2. Tahapan kegiatan pembelajaran terdiri atas: tahap pembinaan keakraban, tahap identifikasi kebutuhan, sumber dan kemungkinan hambatan, tahap perumusan tujuan belajar, tahap penyusunan program kegiatan belajar, tahap pelaksanaan kegiatan belajar, dan tahap evaluasi hasil yang dapat dicapai dalam proses pembelajaran.

3. Peserta atau anggota, aturan kegiatan, upaya belajar, kegiatan membelajarkan, tujuan belajar.

4. Faktor manusia yang merupakan perhatian utama dalam penggunaan strategi pembelajaran partisipatif adalah peserta didik, sumber belajar, tenaga lain yang terkait. ..

Kegiatan pembelajaran partisipatif ditempuh melalui 6 langkah kegiatan, yaitu: (1) Tahap Pembinaan Keakraban, (2) Tahap Identifikasi Kebutuhan, Sumber dan Kemungkinan Hambatan, (3) Tahap Perumusan Tujuan Belajar, (4) Tahap Penyusunan Program kegiatan Belajar, (5) Tahap Pelaksanaan Kegiatan Pembelajaran, (6) Tahap Penilaian Proses, Hasil dan Pengaruh Kegiatan Pembelajaran. Dalam pelaksanaan langkah-langkah pembelajaran tersebut, maka pihak yang memegang peranan utama, adalah guru sebagai pihak pengelola pembelajaran atau pihak yang membelajarkan dan pihak siswa sebagai peserta belajar. Kedua pihak ini masing-masing memiliki peran yang berbeda namun memiliki hubungan atau keterkaitan yang erat dalam proses pembelajaran. Untuk jelasnya, peranan kedua unsur tersebut akan diuraikan satu persatu berikut ini.

1) Peran Guru dalam Strategi Pembelajaran Partisipatif

Dalam pembelajaran partisipatif, guru sebagai pengelola proses pembelajaran. Dalam kaitan dengan hal tersebut, guru berperan sebagai motivator, fasilitator, dan partner dalam proses pembelajaran. Peran guru seperti ini menuntut guru memiliki kemampuan untuk menciptakan kondisi sedemikian rupa untuk melibatkan siswa dalam mengidentifikasi, menyusun dan mengembangkan materi, serta menilai bahan (materi) pembelajaran sesuai kebutuhan siswa dan tujuan-tujuan belajar, Dengan demikian, berarti guru harus memiliki kemampuan yang lebih tentang berbagai aspek yang berkaitan dengan pembelajaran, sehingga perannya sebagai motivator dan fasilitator dapat terlaksana dengan baik. Guru harus mampu membawa siswa untuk membuka wawasan mereka terhadap masalah-masalah yang dihadapi mereka baik secara lokal maupun secara global, baik secara parsial dan maupun secara multi dimensi dengan keterkaitan di antara aspek-aspek tersebut. Guru harus mampu membawa siswa untuk menganalisis berbagai tujuan yang bermakna dalam kegiatan menyusun tujuan-tujuan belajar yang ingin dicapai dalam setiap proses pembelajaran yang berlangsung. Hal ini mengisyaratkan bahwa guru harus mampu membuka pikiran dan wawasan siswa untuk dapat menganalisis kebutuhan mereka, sehingga mampu menyusun tujuan yang sesuai kebutuhan siswa itu sendiri.

Selanjutnya, guru harus membuka pikiran dan wawasan siswa untuk memahami metode-metode pembelajaran yang sesuai untuk mencapai tujuan-tujuan pembelajaran. Selain itu, hal yang paling urgen adalah guru harus mampu menciptakan iklim belajar yang kondusif, rasa kebersamaan kelompok dan tanggung jawab bersama (Within working) untuk melakukan berbagai kegiatan pembelajaran. Dengan demikian, guru dituntut memiliki berbagai kompetensi, baik kompetensi pribadi, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial, serta kompetensi daya juang yang tinggi. Dengan kompetensi yang dimiliki tersebut, guru akan mampu mengelola pembelajaran secara partisipatif untuk mencapai tujuan-tujuan belajar secara efektif.

2) Peran Siswa dalam Pembelajaran Partisipatif

Proses pembelajaran partisipatif sebagaimana telah dipaparkan di atas, mengandung makna bahwa keaktifan siswa sebagai peserta belajar adalah dominan, guru berfungsi sebagai motivator dan fasilitator dalam mengarahkan, membimbing siswa mulai dari identifikasi masalah, perencanaan pembelajaran, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi hingga kegiatan tindak lanjut dari hasil yang dicapai.

Bertitik dari hal tersebut, siswa yang terlibat dalam proses pembelajaran harus memahami tujuan-tujuan belajar yang ingin dicapai sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan mereka dalam hubungan dengan pemecahan masalah-masalah yang dihadapi untuk mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

Dengan pemahaman tujuan-tujuan belajar, diharapkan siswa dapat dibimbing dan dimotivasi ke arah pemahaman meode dan teknik pembelajaran yang akan ditempuh, fasilitas belajar, sumber-sumber belajar yang diperlukan sesuai dengan kebutuhan mereka. Dengan demikian, aktivitas siswa dalam proses pembelajaran merupakan partisipan aktif melalukan berbagai kegiatan untuk memperoleh berbagai pengalaman belajar sesuai tuntutan tujuan belajar yang ingin dicapai.

Demikian pula dalam kegiatan evaluasi, siswa bersama dengan guru merumuskan dan menyusun instrumen evaluasi sesuai dengan jenis proses kegiatan pembelajaran yang ditempuh dan hasil yang diharapkan dicapai. Dan selanjutnya, bersama-sama menganalisis target capaian hasil yang diperoleh dan melakukan rencana tindak lanjut dari hasil-hasil yang telah dicapai. Sumber: http://edukasi.kompasiana.com
Lanjutkan ... → Pembelajaran Partisipatif

Macam-Macam Media Pembelajaran

Beberapa ahli memberikan definisi tentang media pembelajaran. Schramm (1977) mengemukakan bahwa media pembelajaran adalah teknologi pembawa pesan yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran.

Media pembelajaran sangat beraneka ragam. Berdasarkan hasil penelitian para ahli, ternyata media yang beraneka ragam itu hampir semua bermanfaat.


Adapun macam-macam pembelajaran adalah : a) Media visual, b) Media audio, c) media proyeksi diam, d). Media audio visual, e) Media cetakan Sadiman (1986). Bertitik tolak pada pembagian macam-macam media pengajaran diatas., maka penulis meneliti 2 (dua) macam media pembelajaran yang sesuai dan tersedia di daerah penelitian. Adapun media pembelajaran tersebut:

1. Media visual
Media visual termasuk media grtafis, yang berfungsi untuk menyalurkan pesan dan sumber ke penerima pesan. Pesan yang akan disampaikan dituangkan ke dalam simbol-simbol komunikasi visual. Pengertian media visual adalah :“gambar yang secara keseluruhan dari sesuatu yang dijelaskan ke dalam suatu bentuk yang dapat divisualisasikan (Suparto, 1982). Dari macam-macam media visual tersebut diatas, ada tiga macam media visual yang sesuai dengan kegiatan mata pelajaran sejarah yaitu :

a. Gambar/Foto
Gambar / foto merupakan media yang paling umum dipakai. Gambar merupakan bahasa yang umum, yang dapat dimengerti dan dinikmati dimana-mana.

b. Bagan/Chart
Bagan chart termasuk media grafik dan bagan merupakan suatu penyajian diagramatik. Dimana bagan dapat diartikan sebagai suatu lambang visual (visual syabel) untuk mengikhtiarkan, membandingkan dan mempertentangkan kenyataan atau kenyataan-kenyataan (Soeparto, 1983).

c. Peta dan Globe
Globe merupakan lukisan dari permukaan bumi yang diperkecil, sehingga menyerupai dari bentuk aslinya. Pada dasarnya peta dan globe berfungsi untuk menyajikan data-data dan lokasi (Sadiman, 1986)

2. Media Cetak
Media cetak pada kenyataan meliputi bahan bacaan di Indonesia. Bahan bacaan masih sedikit jumlahnya bila dilihat dari kebutuhan. Lagipula kecendrungan dan rangsangan untuk membacapun masih kurang. Padahal kegiatan membaca merupakan suatu yang cukup penting artinya bagi kita/siswa. Dengan membaca secara teratur kita/siswa dapat menyerap gagasan, teori, analisis atau penemuan orang lain. Dan lewat kegiatan pembaca pula orang dapat mengikuti setiap perkembangan baru yang terjadi. Selain meliputi bahan bacaan, media cetakan menampilkan simbol-simbol tertentu. Media cetak pada dasarnya hanya menampilkan simbol-simbol tertentu yaitu huruf (simbol bunyi) (Ali, 1984). Dari macam-macam media cetakan tersebut di atas, penulis mengambil 3 (tiga) macam antara lain :

a. Buku
Buku adalah merupakan sarana yang penting bagi berlangsungnya proses belajar mengajar. Karena pada hakekatnya penggunaan media buku dalam proses belajar mengajar adalah bertujuan untuk mempermudah siswa belajar (Purwodarminto, 1986).

b. Majalah
Membaca majalah berarti mempelajari hasil karya tulis para ahli menurut bidangnya. Membaca majalah adalah merupakan suatu cara atau sesuatu sarana untuk memelihara tingkat pengetahuan sendiri serta untuk menambah pengetahuan baru. Majalah merupakan sarana untuk menggugah minat siswa terhadap suatu masalah pada masa lampau atau masa sekarang. Majalah ini memuat aneka peristiwa baik tentang pengembangan di bidang pendidikan, juga memuat tentang artikel-artikel mengenai peristiwa sejarah pada masal lampau. Hal ini merupakan bahan penunjang bagi siswa dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah.

c. Surat kabar atau koran
Sedangkan surat kabar juga merupakan sarana penunjang mata pelajaran sejarah, karena surat kabar merupakan suatu cara untuk menambah pengetahuan baru bagi siswa.

Sejalan dengan perkembangan IPTEK penggunaan media, baik yang bersifat audio, visual, maupun audi-visual, bisa dilakukan secara bersama dan serempak melalui satu alat saja yang disebut Multi Media. Contoh : dewasa ini penggunaan komputer tidak hanya bersifat projected motion media, namun dapat meramu semua jenis media yang bersifat interaktif.
Lanjutkan ... → Macam-Macam Media Pembelajaran

Prinsip pendekatan Belajar Aktif

Terjadinya kesenjangan yang nyata antara anak yang cerdas dan anak yang kurang cerdas dalam pencapaian tujuan pembelajaran, merupakan salah satu bukti kegagalan dalam proses pembelajaran di sekolah. Hal ini terjadi karena pelaksanaan pembelajaran di sekolah, umumnya kurang memperhatikan perbedaan individual anak dan pelaksanaannya hanya didasarkan pada keinginan guru, sehingga sulit untuk dapat mengantarkan anak didik ke arah pencapaian tujuan pembelajaran. Bukti-bukti ini dijadikan acuan pemerintah untuk menerapkan strategi pembelajaran active learning. Agar pelaksanaan strategi ini optimal, pendidik/guru harus mengetahui prinsip-prinsip pelaksanaan strategi active learning.

Pembelajaran aktif (active learning) dimaksudkan untuk mengoptimalkan penggunaan semua potensi yang dimiliki oleh anak didik, sehingga semua anak didik dapat mencapai hasil belajar yang memuaskan sesuai dengan karakteristik pribadi yang mereka miliki. Di samping itu pembelajaran aktif (active learning) juga dimaksudkan untuk menjaga perhatian siswa/anak didik agar tetap tertuju pada proses pembelajaran.

Prinsip pendekatan Belajar Aktif
Yang dimaksud dengan prinsip-prinsip pendekatan belajar aktif (active learning strategy) adalah tingkah laku yang mendasar bagi siswa yang selalu nampak dan menggambarkan keterlibatannya dalam proses belajar mengajar baik keterlibatan mental, intelektual maupun emosional yang dalam banyak hal dapat diisyaratkan sebagai keterlibatan langsung dalam berbagai bentuk keaktifan fisik.

Sedangkan dalam penerapan strategi belajar aktif, seorang guru harus mampu membuat pelajaran yang diajarkan itu menantang dan merangsang daya cipta siswa untuk menemukan serta mengesankan bagi siswa. Untuk itu seorang guru harus memperhatikan beberapa prinsip dalam menerapkan pendekatan belajar aktif (active learning strategy), sebagaimana yang diungkapkan oleh Semiawan (1992: 10) dan Zuhairini (1993: 116-118) bahwa prinsip-prinsip penerapan pendekatan belajar aktif (active learning strategy) adalah sebagai berikut:
1) Prinsip Motivasi
Motif adalah daya dalam pribadi seseorang yang mendorongnya untuk melakukan sesuatu. Kalau seorang siswa rajin belajar, guru hendaknya menyelidiki apa kiranya motif yang mendorongnya. Kalau seorang siswa malas belajar, guru hendaknya menyelidiki mengapa ia berbuat demikian. Guru hendaknya berperan sebagai pendorong, motivator, agar motif-motif yang positif dibangkitkan dan atau ditingkatkan dalam diri siswa.

Ada dua jenis motivasi, yaitu motivasi dari dalam diri anak (intrinsik) dan motivasi dari luar diri anak (ekstrinsik). Motivasi dalam diri dapat dilakukan dengan menggairahkan perasaan ingin tahu anak, keinginan untuk mencoba, dan hasrat untuk maju dalam belajar. Motivasi dari luar dapat dilakukan dengan memberikan ganjaran, misalnya melalui pujian, hukuman, misalnya dengan penugasan untuk memperbaiki pekerjaan rumahnya (Semiawan, 1992: 10).

2) Prinsip Latar atau Konteks
Kegiatan belajar tidak terjadi dalam kekosongan. Sudah jelas, para siswa yang mempelajari sesuatu hal yang baru telah pula mengetahui hal-hal lain yang secara langsung atau tak langsung berkaitan. Karena itu, para guru perlu meyelidiki apa kira-kira pengetahuan, perasaan, ketrampilan, sikap, dan pengalaman yang telah dimiliki para siswa. Perolehan ini perlu dihubungkan dengan bahan pelajaran baru yang hendak diajarkan guru atau dipelajari para siswa. Dalam mengajarkan keanekaragaman tumbuh-tumbuhan atau hewan misalnya, para guru dapat mengaitkannya dengan pengalaman para siswa dengan tumbuh-tumbuhan dan hewan yang dipelihara orang tuanya, yang berada dilingkungan sekitarnya. Dengan cara ini, para siswa akan lebih mudah menangkap dan memahami bahan pelajaran yang baru (Semiawan, 1992: 10).

3) Prinsip Keterarahan kepada Titik Pusat atau Focus Tertentu.
Seorang guru diharapkan dapat membuat suatu bentuk atau pola pelajaran, agar pelajaran tidak terpecah-pecah dan perhatian murid terhadap pelajaran dapat terpusat pada materi tertentu. Untuk itu seorang guru harus merumuskan dengan jelas masalah yang hendak dipecahkan, merumuskan pertanyaan yang hendak dijawab. Upaya ini akan dapat membatasi keluasan dan kedalaman tujuan belajar serta akan memberikan arah kepada tujuan yang hendak dicpai secara tepat (Zuhairini dkk, 1993: 117).

4) Prinsip Hubungan Social atau Sosialisasi
Dalam belajar para siswa perlu dilatih untuk bekerja sama dengan rekan-rekan sebayanya. Ada kegiatan belajar tertentu yang akan lebih berhasil jika dikerjakan secara bersama-sama, misalnya dalam kerja kelompok, daripada jika dikerjakan sendirian oleh masing-masing siswa. Belajar mengenai bahan bangunan yang biasanya digunakan oleh masyarakat dalam membangun rumah tentu saja akan lebih mudah dan lebih cepat jika para siswa bekerja sama. Mereka dapat dibagi kedalam kelompok dan kepada setiap kelompok diberikan tugas yang berbeda-beda. Latihan bekerja sama sangatlah penting dalam proses pembentukan kepribadian anak (Semiawan, 1992: 11).

5) Prinsip Belajar Sambil Bekerja
Anak-anak pada hakikatnya belajar sambil bekerja atau melakukan aktivitas. Bekerja adalah tuntutan pernyataan dari anak. Karena itu, anak-anak perlu diberikan kesempatan untuk melakukan kegiatan nyata yang melibatkan otot dan pikirannya. Semakin anak bertumbuh semakin berkurang kadar bekerja dan semakin bertambah kadar berpikir. Apa yang diperoleh anak melalui kegiatan bekerja, mencari, dan menemukan sendiri tak akan mudah dilupakan. Hal itu akan tertanam dalam hati sanubari dan pikiran anak. Para siswa akan bergembira kalau mereka diberi kesempatan untuk menyalurkan kemampuan bekerjanya (Semiawan, 1992: 11).

6) Prinsip Perbedaan Perorangan atau Individualisasi
Zuhairini dkk (1993: 117) mengungkapkan bahwa “masing-masing individu mempunyai kecenderungan yang berbeda. Untuk itu para guru diharapkan tidak memperlakukan sama terhadap siswa-siswanya. Seorang guru diharapkan dapat mempelajari perbedaan itu agar kecepatan dan keberhasilan belajar anak dapatlah ditumbuh kembangkan dengan seoptimal mungkin”.

7) Prinsip Menemukan
Seorang guru hendaknya dapat memberikan kesempatan kepada semua siswanya untuk mencari dan menemukan sendiri beberapa informasi yang telah dimiliki. Informasi guru tersebut hendaknya dibatasi pada informasi yang benar-benar mendasar dan ‘memancing’ siswa untuk ‘mengail’ informasi selanjutnya. Jika para siswa ini diberi peluang untuk mencari dan menemukan sendiri informasi itu, maka mereka akan merasakan getaran pikiran, perasaan dan hati. Getaran-getaran dalam diri siswa ini akan membuat kegiatan belajar tidak membosankan, malah menggairahkan (Zuhairini dkk, 1993: 117-118).

8) Prinsip Pemecahan Masalah
Seluruh kegiatan siswa akan terarah jika didorong untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Guna mencapai tujuan-tujuan, para siswa dihadapkan dengan situasi bermasalah agar mereka peka terhadap masalah. Kepekaan terhadap masalah dapat ditimbulkan jika para siswa dihadapkan kepada situasi yang memerlukan pemecahan. Para guru hendaknya mendorong para siswa untuk melihat masalah, merumuskannya, dan berdaya upaya untuk memecahkannya sejauh taraf kemampuan para siswa (Semiawan, 1992: 13).

Jika prinsip-prinsip ini diterapkan dalam proses belajar mengajar nyata dikelas, maka pintu kearah pendekatan belajar aktif (active learning strategy) mulai terbuka.
Sumber: http://kabar-pendidikan.blogspot.com/search/label/Active%20Learning
Lanjutkan ... → Prinsip pendekatan Belajar Aktif

Menerima Kritikan sebagai Ciri Manusia Berkarakter

Khalifah Umar bin Abdul Aziz seperti biasanya, rutin tiap tahun mengundang para ulama dan para cendekiawan untuk datang ke istananya. Khalifah mengadakan rutinitas tersebut bukan tanpa alasan, ia mengundang orang-orang tersebut untuk meminta nasehat dan kritikan mengenai segala hal entah itu mengenai pemerintahan maupun pribadinya. Salah satu khalifah yang terkenal bijaksana dan dicintai rakyatnya itu tentu paham apa makna dari nasehat dan kritikan yang akan diterimanya.

Maka berbondong-bondonglah ulama dan cendekiawan ke istana atas undangan khalifah. Dan ketika di dalam istana satu persatu diantara mereka bergiliran dan memberikan nasehat serta kritikan beragam kepada khalifah.

Ada yang mengingatkan khalifah untuk terus-teruslah mengingat Allah, ada yang mengingatkan untuk terus menuntut ilmu, dan nasehat-nasehat lainnya yang tentu bersifat membangun baik untuk diri khalifah sendiri maupun bagi rakyat umumnya.

Ketika undangan pemberi nasehat sudah hampir habis tiba-tiba saja datang seorang anak kecil menghadap khalifah. Tanpa tedeng aling-aling anak kecil tersebut lantas memberi nasehat kepada khalifah yang agung tersebut, “Ya Khalifah yang dirahmati Allah, takutlah selalu kepada Allah.”

Mendengar dirinya dinasehati oleh seorang anak kecil, muncullah sifat manusiawi sang khalifah. Dengan nada tinggi khalifah tersebut menjawab, “Siapa engkau gerangan anak kecil, berani-beraninya menasehati khalifah seperti aku?”

Lantas dengan pembawaan tenang anak kecil tersebut menjawab, “Ya khalifah yang dirahmati Allah…seandainya segala sesuatu dilihat dan ditentukan dari segi usia, tentu ada yang lebih pantas menduduki singgasana itu selain engkau!”

Mendapat jawaban tersebut, Khalifah Umar bin Abdul Aziz tersadarkan. Ia lantas mencium kening anak tersebut dan mengucapkan istigfar atas kelalaiannya.

Itulah pemimpin, itulah tauladan, itulah sosok yang benar-benar pantas untuk kita agungkan sebagai manusia yang secara intelek maupun karakter memang pantas menjadi seorang pemimpin. Bukan semacam para politikus kita yang senang mengumbar dan berbalas kritikan yang bersifat menjatuhkan dan mengalahkan. Bahkan dapat kita amati sendiri, bila salah satu politikus dalam berdebat sudah mulai tersudut karena memang argumentasi yang dikemukakannya begitu lemah, maka cara apapun akan ia utarakan meski harus menggunakan argumentasi kusir. Maka, mulailah debat kusir, debat berdasarkan subjektifitas dan asumsi belaka, bukan fakta.

Seorang ahli pendidikan mengatakan, pendidikan yang utama adalah membentuk manusia yang berkarakter dan memiliki intelektual serta tubuh yang sehat. Singkatnya, menyeimbangkan antara afektif, kognitif, dan psikomotor. Pendapat ahli pendidikan yang menempatkan karakter di posisi pertama itu sejalan dengan dengan cita-cita bangsa yang dapat kita kutip dari syair lagu Indonesia Raya, yang juga lebih mengutamakan pendidikan di bidang karakter lebih dahulu bukan intelek seperti dalam kutipan syair berikut:

…Bangunlah jiwanya bangunlah badannya…

Bukan

...Bangunlah badannya bangunlah jiwanya…

Bukan pula syair kaum hedonisme, matrealisme, dan kaum pencitraan yang melulu mementingkan intelek dan fisik belaka dengan melalaikan karakter:

...Bangunlah badannya bangunlah badannya…

Para pemimpin kita, tentu adalah orang-orang yang tidak diragukan kecerdasan dan pendidikan intelektualnya. Hal ini dibuktikan dengan pendidikan mereka yang minimal Strata-1. Namun tentu saja cerdas intelektual tidak cukup bila tanpa diikuti kecerdasan karakter. Hasilnya dapat kita lihat sekarang, banyak sekali peminpin daerah yang menjadi tersangka korupsi. Ironis. Barangkali sudah saatnya kita sekarang mengutamakan pendidikan berkarakter. Agar Indonesia yang kita idamkan sekain terwujud.

Dan syukurlah, saya mendengar pendidikan berkarakter tersebut sudah diinstrusikan oleh presiden dan sudah masuk pula dalam konstitusi RI. Tinggal pelaksanaan dan pematangannya.
Sumber: http://edukasi.kompasiana.com/2011/02/02/menerima-kritikan-sebagai-ciri-manusia-berkarakter/
Lanjutkan ... → Menerima Kritikan sebagai Ciri Manusia Berkarakter

Kecerdasan Manusia Menurut Ilmu Psikologi

Macam Macam Kecerdasan Anak Dan Kecerdasan Manusia Menurut Ilmu Psikologi - Manusia memiliki kecerdasan intelektual dan tidak di miliki oleh mahkluk lainnya yang ada di bumi. Apa sih sebetulnya kecerdasan itu? Kata kecerdasan merupakan istilah umum yang sering dipakai untuk menjelaskan tentang sifat pikiran yang di dalamnya mencakup kemampuan seseorang misalnya saja kemampuan berfikir, merencanakan, memecahkan suatu masalah, memahami sebuah ide atau gagasan, memakai bahasa serta belajar.

Kecerdasan sangat erat hubungannya dengan kemampuan yang dimiliki oleh setiap orang. Mungkin kita sering mendengar istilah IQ dan untuk menguji tingkat kecerdasan seseorang dapat diukur dengan menggunakan alat psikometri yang sering di namakan atau disebut sebagai tes IQ. Baca juga info lain untuk kategori pendidikan , Contoh Proposal Beasiswa Proposal Bantuan Dana Pendidikan , Program Beasiswa Unggulan 2011 Jenjang Study Pendidikan Untuk Calon Mahasiswa Unggulan S1-S3 Tahun 2011 , Proposal Beasiswa Contoh Cara Pembuatan Pengajuan Permohonan Beasiswa

Menurut Howard Gardner, potensi diri di sebut juga kecerdasan. Lebih jauh dinyatakan, setiap orang memiliki kecerdasan majemuk. Penemuan Gardner ini sekaligus membantah pandangan yang selama ini dianut oleh kebanyakan orang bahwa yang bisa berprestasi hanyalah mereka yang memiliki inteligensi akademik (IQ) tinggi.

Menurut Gardner, setidaknya ada delapan kecerdasan dasar. Adapun kedeplapan kecerdasan dasar tersebut meliputi : kecerdasan lingustik, matematis-logis, spasial, kinestetis jasmani, musikal, interpersonal, intrapersonal, dan naturalis. Keterangan ringkasnya adalah sebagai berikut (Pengertian, Komponen inti, Kegiatan budaya, Relevansi dengan kondisi kekinian, Profesi relevan, Contoh Figur)

1. Lingustik.
Kemampuan menggunakan kata secara efektif baik secara lisan maupun tulisan.
Kepekaan pada bunyi, stuktur, makna, fungsi kata, dan bahasa.
Budaya berbicara, pembacaan cerita, kesusastraan.
Kini komunikasi lisan dan tertulis memainkan peranan amat penting.
Guru, sekertaris, pendongeng, orator, politisi, sastrawan, penulis, editor, wartawan, ilmuwan sosial.
Virginia Wolf, Martin Luther King, Taufiq Ismail, Geonawan Mohamad, Pramudya Ananta Toer.

2. Metematis-Logis
Kemampuan menggunakan angka dengan baik dan melakukan penalaran yang benar.
kepekaan pada dan kapasitas mencerna pola-pola logis atau numeris kemampuan mengolah alur pikiran yang panjang.
Penemuan ilmiah, teori metematika, sistem klasifikasi, dan penghitungan.
Semakin penting dengan munculnya komputer.
Insinyur, ahli matematika, akuntan pajak, ahli statistik, ilmuwan, programer komputer, ahli logika, filsuf.
Madame Currie, BlasiePascal, Albert Einstein, Andi Hakim Nasoetion.

3. Spasial
Kemampuan mempersepsi dunia spasial-visual secara akurat dan mentransformasikannya.
Kepekaan mempersepsi (merasakan) dunia spasial-visual secara akurat dan mentransformasi persepsi awal.
Karya-karya seni, Sistem navigasi, desain arsitektur, karya cipta.
Semakin pentinga dengan munculnya video dan teknologi visual lainnya.
Pemburu, pramuka, pemandu, dekorator interior, arsitek, seniman, ahli tata kota.

4. Kinestetis Jasmani
Kemampuan menggunakan seluruh tubuhnya.
Keahlian menggunakan seluruh tubuh untuk mengekspresikan ide dan perasaan dan keterampilan menggunakan tangan untuk menciptakan atau mengubah sesuatu.
Kerajinan tangan, kemampuan atletik, karya-karya drama, tarian , seni pahat.
Berperan penting selama periode agraris.
Pilot, Aktor, pemain pantomim, atlet, penari, perajin, pematung, ahli mekanik, dokter bedah, tukang kayu, montir.
Ben Johnson, Rudi Hartono, Pele

5. Musikal
Kemampuan menangani bentuk-bentuk musikal dengan cara mempersepsi, membedakan, mengubah dan mengekspresikannya.
Kemampuan menciptakan dan mengapresiasi irama, pola titinada, dan warna nada apresiasi bentuk-bentuk ekspresi musikal.
Komposisi musik, penampilan di panggung, rekaman.
Berperan penting dalam budaya lisan, ketika komunikasi, lebih bersifat musikal.
Penikmat musik, kritikus musik, komposer, penyanyi.
Celin Dion, The Queen, Pavaroti, Beethoven, Adie MS, Erwin Gutawa.

6. Interpersonal
Kemampuan memperseosi dan membedakan suasana hati, maksud, motivasi, serta perasaan orang lain.
Kemampuan mencerna dan meresoins secara tepat suasana hati, temperamen, motivasi dan keinginan orang lain.
Dokumen politik, lembaga sosial.
Semakin penting dengan meningkatnya usaha-usaha dalam bidang jasa.
Politisi, Konselor, psikolog, event organizer, pengusaha.
Nelson Mandela, Mahatma Gandhi, Soekarno, Bill Gates.

7. Intrapersonal.
Kemampuan memahami diri sendiri dan berindak berdasarkan pemahaman tersebut.
Memahami perasaan sendiri dan kemampuan membedakan emosi, pengetahuan tentang kekuatan dan kelemahan diri.
Sistem keagamaan, teori psikologi, ritual hidup sehari-hari.
Terus memiliki peran penting karena perkembangan masyarakat yang semakin kompleks, yang banyak dihadapkan pada masalah-masalah pengambilan keputusan.
Psikoterapis, Pemimpin keagamaan.
Victor Frankl.

8. Naturalis
Keahlian mengenali dan mengkategorikan spesies flora san fauna di lingkungan sekitar.
Keahlian membedakan anggota-anggota suatu spesies, mengenali eksistensi spesies lain dan memetakan hubungan antara beberapa spesies baik secara informal, maupun formal.
Taksonomi umum, pengetahuan tentang tumbuh-tumbuhan, upacara berburu, mitologi ruh binatang.
Dewasa ini orang-orang yang peduli lingkungan memiliki peran semakin besar untuk melestarikan ekosistem yang terancam punah.
Peneliti alam , ahli biologi, dokter hewan, aktifis lingkungan pakar ekologim petani.
Charles Darwin, Jane Goodal.

Nih ciri-cirinya :

A.Kecerdasan Linguistik
1.Suka membaca buku
2.Menyukai pantun, permainan kata, serangkaian kata yang sukar diucapkan
3.Menulis dengan baik, isi tulisan bagus.
4.Suka bercerita panjang lebar atau menyampaikan lelucon dan kisah-kisah
5.Dapat mengingat nama, tempat, tanggal, atau hal-hal sepele
6.Suka mendengarkan pernyataan-pernyataan lisan (cerita, ulasan radio, dsb.)
7.Suka game permainan kata
8.Mengeja kata dengan tepat
9.Memiliki kosakata sejak kecil
10.Berkomunikasi dengan orang lain dengan cara yang sangat verbal

B.Kecerdasan Matematis-logis
1.Suka permainan catur, main dam, atau game strategi lain
2.Suka mengerjakan teka-teki logika atau soal-soal yang sulit
3.Suka membuat kategori, hierarki, atau pola logis lain
4.Senang melakukan ekperimen selama pelajaran ilmu pasti atau pada waktu luang
5.Banyak bertanya tentang cara kerja suatu hal
6.Suka bekerja atau bermain dengan angka
7.Suka pelajaran matematika, atau pekerjaan yang melibatkan angka
8.Menganggap game matematika dan komputer menarik
9.Menunjukkan minat pada mata pelajaran yang berhubungan dengan sains
10.Dapat mengerjakan tes berpikir logis tipe Piagetian

C.Kecerdasan Spasial
1.Suka melamun
2.Suka kegiatan seni
3.Pandai menggambar
4.Senang melihat film, slide, atau presentasi visual lain
5.Suka mengerjakan puzzle, labirin, atau kegiatan visual sejenis
6.Dapat melaporkan bayangan visual dengan jelas
7.Lebih mudah membaca peta, diagram, dan grafik dari pada teks
8.Dapat membangun konstruksi tiga dimensi yang menarik
9.Lebih mudah belajar dengan gambar dari pada teks
10.Membuat coret-coret di buku kerja, kertas, atau bahan-bahan lain

D.Kecerdasan Kinestetis-Jasmani
1.Selalu bergerak, tidak bisa diam, mengetuk-ngetuk, atau gelisah ketika duduk lama di suatu tempat
2.Menonjol di salah satu atau lebih cabang olahraga
3.Mampu mengekspresikan diri secara dramatis
4.Suka berlari, melompat, gulat, atau kegiatan semacam
5.Menunjukkan kemahiran dalam bidang keterampilan (misalnya pertukangan, menjahit, bengkel) atau memiliki koordinasi motorik halus yang baik dalam hal-hal lain
6.Pandai meniru gerak isyarat atau tingkah laku orang lain
7.Suka membongkar pasang barang
8.Menyentuh (dengan tangan) barang-barang yang baru ditemuinya
9.Menampakkan berbagai macam sensasi fisik ketika berpikir atau bekerja
10.Suka bekerja dengan tanah liat, atau pengalaman yang melibatkan sentuhan tangan lain

E.Kecerdasan Musikal
1.Bersenandung tanpa sadar
2.Mengetuk-ngetuk meja berirama saat sedang bekerja
3.Bersemangat ketika musik dimainkan
4.Menyanyikan lagu yang tidak diajarkan di kelas
5.Dapat menunjukkan nada yang sumbang
6.Dapat mengingat melodi lagu
7.Memiliki suara yang merdu
8.Memainkan alat musik atau bernyanyi bersama paduan suara atau kelompok lain
9.Memiliki cara berbicara dan/atau bergerak yang berirama
10.Peka pada bunyi-bunyian di sekitar

F.Kecerdasan Interpersonal
1.Mudah bergaul
2.Menjadi anggota klub, panitia, atau kelompok informal di antara teman sebaya
3.Mempunyai dua atau lebih teman dekat
4.Memiliki empati yang baik atau perhatian kepada orang lain (sesama)
5.Banyak disukai teman
6. Suka bersosialisasi dengan teman sebaya
7.Senang menjadi pemimpin
8.Memberi saran kepada teman yang mempunyai masalah
9.Senang mengajari anak-anak lain secara informal
10.Suka bermain dengan teman sebaya

G.Kecerdasan Intrapersonal
1.Memiliki perencanaan diri yang baik
2.Lebih memilih bekerja sendiri dari pada bekerjasama dengan orang lain
3.Tidak mengalami masalah jika ditinggalkan bermain atau belajar sendirian
4.Dapat mengekspresikan perasaan secara akurat
5.Menunjukkan sikap mandiri atau kemauan yang keras
6.Memahami dengan baik kekurangan dan kelebihan diri
7.Memiliki gaya hidup dan gaya belajar dengan irama tersendiri
8.Memiliki minat dan hobi yang jarang bicarakan
9.Mampu belajar dari kegagalan dan keberhasilan yang pernah dialami
10.Memiliki rasa penghargaan terhadap diri sendiri yang baik

H.Kecerdasan Naturalis
1.Senang menyiram dan merawat tanaman di ruang kelas atau rumah
2.Membawa binatang kecil/serangga, bunga atau benda alam lain ke sekolah untuk dipamerkan kepada teman sekelas atau guru
3.Dapat mengerjakan dengan baik tugas/pekerjaan yang bersinggungan dengan sistem kehidupan (misalnya, topik biologi dalam pelajaran ilmu pasti, isu lingkungan dalam pelajaran ilmu sosial)
4.Berbicara banyak tentang binatang kesayangan, atau lokasi-lokasi alam favorit ketika bercerita di kelas
5.Suka karya wisata di alam, ke kebun binatang, atau ke museum purbakala
6.Peka pada bentuk-bentuk alam (misalnya, ketika berjalan-jalan dengan teman sekelas, akan memperhatikan gunung-gunung, awan-awan atau jika dalam lingkungan perkotaan, kemampuannya ditunjukkan dengan kepekaan pada bentuk-bentuk budaya populer, seperti model sepatu karet atau model mobil)
7.Suka bermain di sekitar kandang kelinci, akuarium, atau terarium yang ada di kelas
8.Menunjukkan minat pada ekologi, alam, tanaman, atau binatang
9.Menyerukan hak-hak binatang atau perlunya melindungi planet bumi di kelas
10.Suka melakukan proyek yang berhubungan dengan alam, misalnya mengamati burung, mengumpulkan serangga atau kupu-kupu, mempelajari pohon atau memelihara binatang.
Lanjutkan ... → Kecerdasan Manusia Menurut Ilmu Psikologi

Model Pengajaran (Sains) Konstruktivis

Konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia. Manusia mengkonstruksi pengetahuan mereka melalui interaksi mereka dengan objek, fenomena, pengalaman, dan lingkungan mereka. Suatu pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan itu dapat berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan atau fenomen yang sesuai. Bagi konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari seseorang kepada yang lain, tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing orang. Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi, melainkan suatu proses yang berkembang terus-menerus. Dalam proses itu, keaktifan seseorang yang ingin tahu amat berperanan dalam perkembangan pengetahuannya.[1]

Grennon Brooks dan Brooks menyebutkan bahwa prinsip utama pengajaran yang dianut oleh para konstruktivis yaitu: (a) mengajukan problem-problem yang keberadaannya relevan dengan murid; (b) menyusun pembelajaran mengitari ide-ide besar atau konsep-konsep utama; (c) mencari dan menghargai sudut pandang murid; (d) mengadaptasi kurikulum yang dialamatkan kepada anggapan-anggapan murid; (e) menilai pembelajaran murid dalam konteks pengajaran. [2]

Ditambahkan pula oleh Suparno bahwa dengan mengajukan situasi konflik atau anomali (dalam proses pengajaran) yang membuat murid dipaksa untuk berpikir lebih mendalam serta situasi yang menuntut mereka untuk membela diri dan menjelaskan lebih rinci, akan mengembangkan pengetahuan mereka. [3] Kemudian, Friedl juga berpendapat bahwa seorang guru harus memperhatikan penggunaan discrepancy event dalam kegiatan pengajaran supaya pengajaran sainsnya menarik. Discrepancy event adalah kejadian yang tidak sesuai dengan anggapan umum. Friedl menjelaskannya lebih lanjut,“ A good dicrepant event tends to create a strong feeling in the observer. Generally, there will be an inner feeling of “waiting to know.” As children stare in disbelief at some of the events, they simply have to know they work.” [4] Atau dengan kata lain, kejadian-kejadian yang tidak sesuai dengan anggapan dasar atau anggapan umum sangat baik untuk menciptakan dorongan atau semangat atau perasaan dalam diri anak.
Konstruktivisme menyediakan seperti dasar-dasar bagi beberapa reformasi yang sedang berlangsung dalam pendidikan.[5] Dalam konteks pengajaran sains untuk anak-anak, menurut Chiapetta dan Koballa, langkah pengajaran (konstruktivis) yang dapat dilakukan di antaranya seperti dengan penekanan pada penemuan dan investigasi laboraturium. [6]
Maksudnya, anak ditekankan dan diharuskan membangun sendiri pengetahuan dan pemahaman sains mereka. Pada masing-masing langkah sains, mereka harus menginterpretasikan pengetahuan baru mereka dalam konteks apa-apa yang telah mereka pahami. Dibandingkan mentransferkan pengetahuan lengkap ke pikiran murid, akan lebih baik jika guru membantu murid mengkonstruksi interpretasi yang valid secara ilmiah tentang dunia dan membimbing mereka mengubah miskonsepsi ilmiah mereka.[7]

Hal tersebut penting mengingat seperti dalam keterangan Santrock bahwa anak punya banyak miskonsepsi yang tidak kompatibel (selaras) dengan sains dan realitas. [8] Tippins, Kobalia, dan Payne menyarankan bahwa guru yang baik harus memahami konsep anak tersebut, kemudian menggunakan konsep tersebut sebagai dasar pijakan bagi pembelajaran. [9] Pengajaran sains yang efektif haruslah mampu membantu murid untuk membedakan antara kesalahan yang berguna dan miskonsepsi, antara kesalahan yang berada di jalur yang benar dengan pemahaman yang tidak lengkap, dan ide yang benar-benar keliru yang perlu diganti dengan konsep yang benar-benar akurat.

Kemudian, untuk menumbuhkan minat belajar murid terhadap sains, berdasarkan perspektif kognitif, langkah yang dianjurkan yaitu dengan memberikan motivasi intrinsik daripada motivasi ekstrinsik kepada murid. Motivasi intrinsik adalah motivasi internal untuk melakukan sesuatu demi sesuatu itu sendiri (tujuan itu sendiri). [10] Ada dua jenis motivasi intrinsik, yaitu: pertama, motivasi intrinsik dari determinasi diri dan pilihan personal; dan kedua, motivasi intrinsik dari pengalaman optimal. [11] Dalam kajian lebih lanjut terungkap, motivasi intrinsik memiliki arti penting bagai seorang anak dalam berprestasi atau untuk meraih sesuatu. Sebagai contoh tentang motivasi intrinsik: murid mungkin belajar menghadapi ujian karena dia senang dengan mata pelajaran yang diujikan tersebut.

Pandangan di atas juga dikuatkan oleh hasil studi yang mengungkapkan bahwa telah ditemukan bukti terbaru mendukung pembentukan iklim kelas di mana murid bisa termotivasi secara intrinsik untuk belajar.[12] Murid mendapatkan motivasi untuk belajar saat mereka diberi pilihan, senang menghadapi tantangan yang sesuai dengan kemampuan mereka, dan mendapat imbalan yang mengandung nilai informasional tetapi bukan dipakai untuk kontrol. Pemberian pujian juga termasuk di dalamnya.

Jadi dapat dipahami bahwa mengajar menurut konstruktivisme adalah proses membantu seseorang (murid) untuk membentuk pengetahuannya sendiri. [13] Mengajar bukanlah mentransfer pengetahuan dari orang yang sudah tahu (guru) kepada yang belum tahu (murid), melainkan membantu seseorang agar dapat mengkonstruksi sendiri pengetahuannya lewat kegiatannya terhadap fenomen dan objek yang ingin diketahui. Dalam hal ini, penyediaan prasarana dan situasi yang memungkinkan dialog secara kritis perlu dikembangkan. Sementara itu, tugas guru dalam proses ini lebih menjadi mitra yang aktif bertanya, merangsang pemikiran, menciptakan persoalan, membiarkan murid mengungkapkan gagasan dan konsepnya, serta kritis menguji konsep murid. Namun, yang paling penting adalah menghargai dan menerima pemikiran murid apa pun adanya sambil menunjukkan apakah pemikiran itu jalan atau tidak. Guru juga harus menguasai bahan secara luas dan mendalam sehingga dapat lebih fleksibel menerima gagasan murid mereka.
Namun, berbagai sisi positif pengajaran konstruktivis sayangnya masih tidak lengkap untuk dijadikan model pengajaran sains di RA. Ini mengingat bahwa falsafah pendidikan yang digunakannya tidaklah lengkap seperti yang kita saksikan, karena sistem tersebut meninggalkan satu aspek kepribadian manusia, yaitu spiritnya.[14] Selain itu, model pengajaran sains konstruktivis didominasi oleh pendekatan ilmiah. Padahal, pendekatan ilmiah ketika digunakan sebagai satu-satunya metode yang berlaku pada semua cabang pengetahuan adalah tidak seluruhnya valid dan rasional. [15] Dengan demikian, dalam model pengajaran ini ditemukan adanya falsafah yang kekurangan realitas spiritual dan kebutuhan penggunaan spiritual dan karena itu kekurangan pula akan aspek transendental manusia dan sifat eksternal.
________________________________________
[1] Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2010), Cet. VIII, hlm. 28-29.
[2] Jacqueline G. Brooks dan Martin G. Brooks, In Search …, hlm. vii
[3] Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme …, hlm. 29.
[4] Alfred E. Friedl, Teaching Science To Children An Integrated Approach Second Edition (New York: McGraw-Hill, Inc., 1991), hlm. 4
[5] Jacqueline G. Brooks dan Martin G. Brooks, In Search of Understanding: The Case for Constructivist Classrooms (Virginia: Association for Supervision and Curriculum Development (ASCD), 1993), hlm. vii
[6] Chiapetta dan Koballa (2002) dalam John W. Santrock, Psikologi Pendidikan, Edisi Kedua, terj. Tri Wibowo B.S. (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 447.
[7] Martin, Sexton dan Geriovich (1999) dalam John W. Santrock, Psikologi Pendidikan, Edisi Kedua, terj. Tri Wibowo B.S. (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 447.
[8] John W. Santrock, Psikologi Pendidikan, …, hlm. 446.
[9] D.J. Tippins, T.R. Konalla, dan B.D. Payne (2000) dalam John W. Santrock, Psikologi Pendidikan, …, hlm. 446.
[10] Wigfield dan Eccles (2002) dan Hennesey dan Amabile (1998) dalam John W. Santrock, Psikologi Pendidikan, …, hlm. 513.
[11] Mihaly Csikszentmihalyi (1990, 1993, 2000) dan bersama Nakamura (2002) dalam John W. Santrock, Psikologi Pendidikan, …, hlm. 516.
[12] Wigfield dan Eccles (2002) dan Hennesey dan Amabile (1998) dalam John W. Santrock, Psikologi Pendidikan, …, hlm. 513.

Lanjutkan ... → Model Pengajaran (Sains) Konstruktivis

2012, Tahun Pendidikan Berkarakter

Tahun 2012 menuju pendidikan berkaraktakter, pasti kata itu sering kita dengar apalagi bagi orang-orang yang berada pada bidang pendidikan.
Pendidikan berkarakter itulah yang di gencarkan oleh pemerintah, melihat pendidikan kita sekarang dalam keadaan yang terpuruk, dikatakan terpuruk karena pelajar yang seharusnya menjadi anak yang bermoral malah menjadi anak yang tidak tahu norma. Inilah yang pemrintah inginkan. Namun apakah hal ini akan tercapai jika kurikulum tetap diganti dengan kurikulum berbasis karakter.

Apa sebenarnya kurikulum pendidikan berkarakter? Sejak beberapa tahun ini muncul istilah pendidikan berkarakter untuk mengintrodusir dunia pendidikan supaya memedulikan pembentukan karakter dan kepribadian peserta didik. Mirip dengan itu, belasan tahun yang lalu pernah diwajibkan memberikan pelajaran Budi Pekerti di sekolah. Bahkan tercatat juga pernah muncul keharusan mengintegrasikan iman dan taqwa (imtaq) dalam setiap pembelajaran di sekolah.
Dengan pendidikan berkarakter diharapkan keseluruhan proses pendidikan yang dialami peserta didik menjadi pengalaman dalam pembentukan kepribadian dengan cara memahami dan mengalami sendiri nilai-nilai, keutamaan-keutamaan moral, nilai-nilai ideal agama dan budaya.
Sesuai wacana yang berkembang, secara sederhana pendidikan berkarakter adalah segala sesuatu yang dilakukan sehingga memengaruhi karakter peserta didik. Thomas Lickona, dalam Education for Character mendefinisikan bahwa pendidikan berkarakter adalah usaha sengaja untuk membantu orang memahami, peduli, dan bertindak berdasarkan nilai-nilai etika inti.

Inilah solusi pemerintah untuk menghasilkan peserta didik yang mampu sesuai tujuan Negara yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa.

Dapat dilihat dari berbagai sisi ide tentang kurikulum ini. Pertama, jika kita berfikir standar memang bagus memberikan pelajaran atau cara belajar anak dengan kurikulum berkarakter agar murid berlatih jujur, sabar, terampil, spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia. Dalam pelajarannya anak dituntut seperti itu.

Kedua, apakah cukup dengan pendidikan disekolah nantinya anak benar-benar dapat bersifat seperti itu sedangkan dilikungan sendiri masih banyak yang harus diperbaiki, contoh budaya anak muda yang pacaran, jika seorang anak melakukan pacaran, seks bebas, maka nilai akhlak mulia tidak hilang dan tujuan untu menjadi anak-anak yang berkarakter gagal.

Ketiga, jika anak-anak dilatih untuk berakhlak mulia dengan pendidikan berkarakter ini sudahkah para guru dan penguasa atau orang yang dianggap tua oleh anak-anak memberikan contok yang terpuji juga. Tidak cukup dengan guru yang mengajar lulus dari mata kuliah karakter sekarang dinamakan dengan PPG (pendidikan profesi guru) juga mencakup bagaimana guru memahami dan melatih anak menjadi berkarakter yang mulia, tepatnya menjalankan perintah Allah.

Jika pendidikan berkarakter ini terus dibumingkan dan akan diterapkan dalam dunia pendidikan Indonesia, maka jelas sudah bahwa Indonesia belum berkarakter alias moral dan akhlak anak-anak atau pemuda belum berkarakter.

Lalu apa penyebab dari ini semua, mengapa Indonesia harus sering berganti system kurikulumnya?.inilah sebenarnya fakta yang sudah jelas didepan mata bagaimana system pendidikan kita yang bermasalah, apapun kebiakan pemerintah tidak ada yang bisa menghasilkan anak didik yang sesuai dengan tujuan yang mampu membangkitkan umat dan taat pada Allah.

Jika kita mau berfikir bahwa kita adalah orang islam pasti lah segala peraturan itu sudah ada yang membuatnya yaitu Allah SWT, islam telah mengatur bagaimana system pendidikan yang tepat bukti ketika masa zaman kejayaan islam dulu tidak perlu ganti-ganti kurikulum tetapi pemuda islam sudah mampu menjadi luar biasa, anak 7 tahun sudah bisa mengahafal alqur’an, banyak cendekiawan muslim yang tidak hanya ahli dalam satu hal tapi berbagai hal. Kuncinya adalah taat pada peratuaran Allah dan menjauhi larangan Allah. Didukung pula dengan system islam yang kaffah sehingga dimanapun berada akan diatur oleh peraturan islam. Berbeda dengan sekarang ingin mempertbaiki masalah pendidikan tapi masalah social rusak, ekonomi yang sulit sehingga tidak jarang anak-anak nekat mencuri untuk memenuhi kebutuhannya, budaya barat menjamur,jika tidak pacaran tidak keren. Itulah yang terjadi sekarang. Masalah ini bukan masalah parsial (sebagian) tapi masalah menyeluruh maka harus diselesaikan secara menyeluruh. Dan jelas bahwa sebenarnya islam punya solusi yaitu yaitu dengan menaati segara peraturan Allah, peraturan itu tidak akan sempurna jika tidak ada intitusi yaitu Negara. Maka daulah islam lah (khiLAFAH islamiah) yang dapat menjalankan peraturan islam secara kaffah. Pendidikan tidak perlu lagi tambal sulam karena islam mengatur secara menyeluruh.

Jadi sebenarnya kurikulum pendidikan berkarakter itu tidak bisa dikatakan sebagai solusi untuk anak didik sekarang selagi system kufur kapitalis sekuler ini masih mencekram dunia, maka dari itulah sadarlah bahwa ummat islam harus bangga dengan islamnya dan wajib menjalankan seluruh aturan Islam. Najla Amirah Mardhiyah

Lanjutkan ... → 2012, Tahun Pendidikan Berkarakter
 

Blogger news

Blogroll

Most Reading