
Grennon Brooks dan Brooks menyebutkan bahwa prinsip utama pengajaran yang dianut oleh para konstruktivis yaitu: (a) mengajukan problem-problem yang keberadaannya relevan dengan murid; (b) menyusun pembelajaran mengitari ide-ide besar atau konsep-konsep utama; (c) mencari dan menghargai sudut pandang murid; (d) mengadaptasi kurikulum yang dialamatkan kepada anggapan-anggapan murid; (e) menilai pembelajaran murid dalam konteks pengajaran. [2]
Ditambahkan pula oleh Suparno bahwa dengan mengajukan situasi konflik atau anomali (dalam proses pengajaran) yang membuat murid dipaksa untuk berpikir lebih mendalam serta situasi yang menuntut mereka untuk membela diri dan menjelaskan lebih rinci, akan mengembangkan pengetahuan mereka. [3] Kemudian, Friedl juga berpendapat bahwa seorang guru harus memperhatikan penggunaan discrepancy event dalam kegiatan pengajaran supaya pengajaran sainsnya menarik. Discrepancy event adalah kejadian yang tidak sesuai dengan anggapan umum. Friedl menjelaskannya lebih lanjut,“ A good dicrepant event tends to create a strong feeling in the observer. Generally, there will be an inner feeling of “waiting to know.” As children stare in disbelief at some of the events, they simply have to know they work.” [4] Atau dengan kata lain, kejadian-kejadian yang tidak sesuai dengan anggapan dasar atau anggapan umum sangat baik untuk menciptakan dorongan atau semangat atau perasaan dalam diri anak.
Konstruktivisme menyediakan seperti dasar-dasar bagi beberapa reformasi yang sedang berlangsung dalam pendidikan.[5] Dalam konteks pengajaran sains untuk anak-anak, menurut Chiapetta dan Koballa, langkah pengajaran (konstruktivis) yang dapat dilakukan di antaranya seperti dengan penekanan pada penemuan dan investigasi laboraturium. [6]
Maksudnya, anak ditekankan dan diharuskan membangun sendiri pengetahuan dan pemahaman sains mereka. Pada masing-masing langkah sains, mereka harus menginterpretasikan pengetahuan baru mereka dalam konteks apa-apa yang telah mereka pahami. Dibandingkan mentransferkan pengetahuan lengkap ke pikiran murid, akan lebih baik jika guru membantu murid mengkonstruksi interpretasi yang valid secara ilmiah tentang dunia dan membimbing mereka mengubah miskonsepsi ilmiah mereka.[7]
Hal tersebut penting mengingat seperti dalam keterangan Santrock bahwa anak punya banyak miskonsepsi yang tidak kompatibel (selaras) dengan sains dan realitas. [8] Tippins, Kobalia, dan Payne menyarankan bahwa guru yang baik harus memahami konsep anak tersebut, kemudian menggunakan konsep tersebut sebagai dasar pijakan bagi pembelajaran. [9] Pengajaran sains yang efektif haruslah mampu membantu murid untuk membedakan antara kesalahan yang berguna dan miskonsepsi, antara kesalahan yang berada di jalur yang benar dengan pemahaman yang tidak lengkap, dan ide yang benar-benar keliru yang perlu diganti dengan konsep yang benar-benar akurat.
Kemudian, untuk menumbuhkan minat belajar murid terhadap sains, berdasarkan perspektif kognitif, langkah yang dianjurkan yaitu dengan memberikan motivasi intrinsik daripada motivasi ekstrinsik kepada murid. Motivasi intrinsik adalah motivasi internal untuk melakukan sesuatu demi sesuatu itu sendiri (tujuan itu sendiri). [10] Ada dua jenis motivasi intrinsik, yaitu: pertama, motivasi intrinsik dari determinasi diri dan pilihan personal; dan kedua, motivasi intrinsik dari pengalaman optimal. [11] Dalam kajian lebih lanjut terungkap, motivasi intrinsik memiliki arti penting bagai seorang anak dalam berprestasi atau untuk meraih sesuatu. Sebagai contoh tentang motivasi intrinsik: murid mungkin belajar menghadapi ujian karena dia senang dengan mata pelajaran yang diujikan tersebut.
Pandangan di atas juga dikuatkan oleh hasil studi yang mengungkapkan bahwa telah ditemukan bukti terbaru mendukung pembentukan iklim kelas di mana murid bisa termotivasi secara intrinsik untuk belajar.[12] Murid mendapatkan motivasi untuk belajar saat mereka diberi pilihan, senang menghadapi tantangan yang sesuai dengan kemampuan mereka, dan mendapat imbalan yang mengandung nilai informasional tetapi bukan dipakai untuk kontrol. Pemberian pujian juga termasuk di dalamnya.
Jadi dapat dipahami bahwa mengajar menurut konstruktivisme adalah proses membantu seseorang (murid) untuk membentuk pengetahuannya sendiri. [13] Mengajar bukanlah mentransfer pengetahuan dari orang yang sudah tahu (guru) kepada yang belum tahu (murid), melainkan membantu seseorang agar dapat mengkonstruksi sendiri pengetahuannya lewat kegiatannya terhadap fenomen dan objek yang ingin diketahui. Dalam hal ini, penyediaan prasarana dan situasi yang memungkinkan dialog secara kritis perlu dikembangkan. Sementara itu, tugas guru dalam proses ini lebih menjadi mitra yang aktif bertanya, merangsang pemikiran, menciptakan persoalan, membiarkan murid mengungkapkan gagasan dan konsepnya, serta kritis menguji konsep murid. Namun, yang paling penting adalah menghargai dan menerima pemikiran murid apa pun adanya sambil menunjukkan apakah pemikiran itu jalan atau tidak. Guru juga harus menguasai bahan secara luas dan mendalam sehingga dapat lebih fleksibel menerima gagasan murid mereka.
Namun, berbagai sisi positif pengajaran konstruktivis sayangnya masih tidak lengkap untuk dijadikan model pengajaran sains di RA. Ini mengingat bahwa falsafah pendidikan yang digunakannya tidaklah lengkap seperti yang kita saksikan, karena sistem tersebut meninggalkan satu aspek kepribadian manusia, yaitu spiritnya.[14] Selain itu, model pengajaran sains konstruktivis didominasi oleh pendekatan ilmiah. Padahal, pendekatan ilmiah ketika digunakan sebagai satu-satunya metode yang berlaku pada semua cabang pengetahuan adalah tidak seluruhnya valid dan rasional. [15] Dengan demikian, dalam model pengajaran ini ditemukan adanya falsafah yang kekurangan realitas spiritual dan kebutuhan penggunaan spiritual dan karena itu kekurangan pula akan aspek transendental manusia dan sifat eksternal.
________________________________________
[1] Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2010), Cet. VIII, hlm. 28-29.
[2] Jacqueline G. Brooks dan Martin G. Brooks, In Search …, hlm. vii
[3] Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme …, hlm. 29.
[4] Alfred E. Friedl, Teaching Science To Children An Integrated Approach Second Edition (New York: McGraw-Hill, Inc., 1991), hlm. 4
[5] Jacqueline G. Brooks dan Martin G. Brooks, In Search of Understanding: The Case for Constructivist Classrooms (Virginia: Association for Supervision and Curriculum Development (ASCD), 1993), hlm. vii
[6] Chiapetta dan Koballa (2002) dalam John W. Santrock, Psikologi Pendidikan, Edisi Kedua, terj. Tri Wibowo B.S. (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 447.
[7] Martin, Sexton dan Geriovich (1999) dalam John W. Santrock, Psikologi Pendidikan, Edisi Kedua, terj. Tri Wibowo B.S. (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 447.
[8] John W. Santrock, Psikologi Pendidikan, …, hlm. 446.
[9] D.J. Tippins, T.R. Konalla, dan B.D. Payne (2000) dalam John W. Santrock, Psikologi Pendidikan, …, hlm. 446.
[10] Wigfield dan Eccles (2002) dan Hennesey dan Amabile (1998) dalam John W. Santrock, Psikologi Pendidikan, …, hlm. 513.
[11] Mihaly Csikszentmihalyi (1990, 1993, 2000) dan bersama Nakamura (2002) dalam John W. Santrock, Psikologi Pendidikan, …, hlm. 516.
[12] Wigfield dan Eccles (2002) dan Hennesey dan Amabile (1998) dalam John W. Santrock, Psikologi Pendidikan, …, hlm. 513.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar